ENSIKLIK SPE SALVI
DARI PAUS BENEDIKTUS XVI
KEPADA PARA USKUP
PARA IMAM, DIAKON
BIARAWAN DAN BIARAWATI
DAN SEMUA UMAT BERIMAN AWAM
MENGENAI HARAPAN KRISTEN
Pengantar
1. "SPE SALVI facti sumus"—kita diselamatkan dalam pengharapan, kata Santo Paulus kepada jemaat di Roma, dan begitu juga kepada kita (Rom 8:24). Menurut iman Kristen, "penebusan"—keselamatan—bukanlah sesuatu yang [otomatis] diberikan. Penebusan ditawarkan kepada kita dalam artian bahwa kita telah diberi harapan, sebuah harapan yang bisa-dipercaya, yang oleh karena kebajikan [dari harapan tersebut] kita bisa menghadapi saat kini kita: saat kini, meskipun itu melelahkan, bisa dihidupi dan diterima kalau [saat kini tersebut] mengarah kepada suatu tujuan, kalau kita bisa yakin akan tujuan ini, dan kalau tujuan ini cukup besar untuk menjustifikasi [atau "membenarkan"] upaya untuk suatu perjalanan [dalam mencapai tujuan itu]. Sekarang, pertanyaan dengan segera muncul: harapan macam apa yang dapat menjustifikasi [atau "membenarkan"] pernyataan bahwa, —atas dasar harapan itu dan hanya karena [harapan] itu ada—, kita telah ditebus? Dan kepastian seperti apakah yang terlibat disini?
Iman adalah Harapan
2. Sebelum mengarahkan perhatian kita kepada pertanyaan yang ditanyakan pada saat yang tepat tersebut, kita harus mendengar sedikit lebih dekat kepada kesaksian Alkitab atas harapan. "Harapan," pada kenyataannya, adalah sebuah kata kunci dalam iman Biblis—sebegitu rupa sehingga dalam beberapa perikop kata-kata "iman" dan "harapan" sepertinya saling dipergantikan. Karenanya Surat kepada jemaat Ibrani menghubungkan dengan dekat "kepenuhan iman" (10:22) kepada "pengakuan akan harapan kita tanpa bergeming" (10:23). Begitu pula, ketika Surat Pertama Petrus menganjurkan umat Kristen untuk selalu siap memberi jawaban mengenai sang Logos—[yang adalah] arti dan alasan—dari harapan mereka (bdk. 3:15), "harapan" ekuivalen dengan "iman". Bila kita membandingkan kehidupan umat Kristen dengan kehidupan [sebelum umat Kristen itu mempunyai iman Kristen], atau [bila kita membandingkan kehidupan umat Kristen] dengan situasi dari pengikut agama-agama lain, kita melihat bagaimana dengan keteguhan pemahaman-diri para umat Kristen awal dibentuk [oleh karena] mereka memiliki karunia harapan yang bisa-dipercaya. Paulus mengingatkan kepada jemaat Efesus bahwa sebelum pertemuan mereka dengan Kristus mereka "tanpa pengharapan dan tanpa Allah didalam dunia" (Ef 2:12). Tentu saja dia [St. Paulus] tahu bahwa mereka dulunya mempunyai ilah-ilah, dia tahu bahwa mereka dulunya mempunyai sebuah agama, tapi ilah-ilah mereka terbukti [patut] dipertanyakan, dan tidak ada harapan yang muncul dari mitos-mitos [ilah-ilah] yang kontradiktif [tersebut]. [Meskipun memiliki] ilah-ilah, mereka dulunya "tanpa Allah" dan konsekuensinya mereka menemukan diri mereka didalam dunia yang gelap, menghadapi masa depan yang buruk. In nihil ab nihilo quam cito recidimus (Bagaimana cepat kita jatuh dari kehampaan ke kehampaan): [1] seperti yang dikatakan satu batu nisan dari periode itu. Di frase ini kita melihat dalam suatu ungkapan yang pasti, inti yang ingin disampaikan Paulus. Dalam nada yang sama dia berkata kepada jemaat Tesalonika: kamu seharusnya tidak "bersedih seperti orang lain yang tidak memiliki harapan" (1 Tes 4:13). Juga disini kita melihat sebuah tanda pembeda umat Kristen, [yaitu] bahwa mereka mempunyai sebuah masa depan: bukan [berarti] bahwa mereka tahu detail-detail dari apa yang menanti mereka, tapi mereka tahu secara garis besar bahwa kehidupan mereka tidak akan berakhir dalam kehampaan. Hanya ketika masa depan [menjadi] pasti sebagai suatu realitas yang positif [maka hal itu] menjadikan mungkin untuk hidup dalam masa kini [dengan pasti pula]. Jadi sekarang kita bisa berkata: Kekristenan bukan hanya "kabar baik"—sebuah komunikasi atas suatu kandungan yang tidak diketahui. Dengan kata lain kita akan berkata: pesan Kristen tidak hanya "informative" tapi juga "performative". Itu berarti: Injil tidak hanya sekedar sebuah komunikasi akan hal-hal yang bisa diketahui—[injil] adalah suatu hal yang membuat sesuatu terjadi dan [merupakan sesuatu yang] mengubah hidup. Pintu gelap waktu, [pintu gelap] masa depan, telah dibentang terbuka. Mereka yang memiliki harapan, hidup secara berbeda; mereka yang mempunyai harapan telah diberikan karunia kehidupan baru.
3. Namun pada titik ini sebuah pertanyaan timbul: dimana dalam harapan ini terkandung suatu "penebusan" yang masih berbentuk harapan? Inti dari jawabannya diberikan didalam frase dari Surat kepada Jemaat di Efesus yang dikutip diatas: para umat Efesus, sebelum pertemuan mereka dengan Kristus, adalah tanpa harapan karena mereka "tanpa Allah didalam dunia". Untuk datang mengenal Allah—Allah yang sejati—berarti untuk menerima harapan. Kita yang selalu hidup dengan konsep Kristen akan Allah, dan telah terbiasa dengannya, hampir berhenti menyadari bahwa kita memiliki suatu harapan yang bermuasal dari sebuah perjumpaan nyata dengan Allah ini. Teladan dari seorang kudus di masa kita dapat pada suatu tingkat membantu kita memahami apa arti mempunyai sebuah perjumpaan nyata dengan Allah ini untuk pertama kalinya. Aku berpikiran tentang Josephine Bakhita seorang Afrika, yang dikanonisasi oleh Paus Yohanes Paulus II. Dia dilahirkan sekitar tahun 1869—dia sendiri tidak tahu hari persisnya—di Darfur di Sudan. Pada usia sembilan tahun, dia diculik oleh pedagang budak, dipukuli sampai berdarah, dan dijual lima kali di pasar budak sudan. Pada akhirnya dia menemukan dirinya bekerja sebagai budak bagi seorang ibu dan istri dari seorang jendral, dan di tempat itu dia didera setiap hari sampai berdarah; sebagai akibatnya dia memiliki 144 bekas luka [yang membekas] sepanjang hidupnya. Akhirnya, pada 1882, dia dibeli oleh seorang pedagang Italia untuk seorang konsul Italia Callisto Legnani, yang kembali ke Italia ketika para Mahdist bergerak. Pada saat ini, setelah sebelumnya Bakhita dimiliki oleh seorang "majikan" yang menakutkan, Bakhita mengenal seorang "majikan" yang sangat berbeda—dalam dialek Venesia, yang sekarang dipelajarinya, dia menggunakan nama "paron" bagi sang Allah yang hidup, Allah dari Yesus Kristus. Sampai saat itu dia hanya mengenal majikan-majikan yang jijik dan memperlakukannya dengan buruk, atau paling baik, hanya melihat dia sebagai seorang budak yang berguna. Namun sekarang dia mendengar bahwa ada seorang "paron" diatas semua majikan, Tuhan semua tuhan, dan Tuhan ini adalah baik, kebaikan dalam pribadi. Dia menjadi tahu bahwa Tuhan ini bahkan mengenalnya, bahwa Dia telah menciptakannya—bahwa Dia nyata-nyatanya mencintainya. Dia juga dicintai, dan tidak lain oleh sang "paron" tertinggi, yang dihadapanNya [si paron ini] semua majikan tidak lebih hanya pelayan-pelayan rendah. Dia [ie. Josephine Bakhita] diketahui dan dicintai dan dia [Josephine Bakhita] ditunggui. Terlebihnya, Sang Majikan ini sendiri telah menerima tujuan hidup ["destiny"] untuk didera dan sekarang dia [Josephine Bakhita] menanti bagi Dia [yang] "duduk disebalah kanan Bapa". Sekarang dia mempunyai "harapan"—tidak lagi sekedar harapan sederhana untuk bertemu majikan-majikan yang kurang kejam [dari majikan-majikan sebelumnya], tapi sebuah harapan besar: "Aku benar-benar dicintai dan apapun yang terjadi padaku—aku ditunggui oleh Cinta ini. dan karenanya hidupku baik." Melalui pengetahuan akan harapan ini dia "ditebus", bukan lagi seorang budak, tapi seorang anak Allah yang bebas. Dia memahami apa yang dimaksud Paulus ketika Paulus mengingatkan umat Efesus bahwa sebelumnya mereka tanpa harapan dan tanpa Allah didalam dunia—tanpa harapan karena tanpa Allah. Oleh karena itu, ketika dia [Josephine Bakhita] akan dibawa kembali ke Sudan, Bakhita menolak; dia tidak ingin dipisahkan dari "paron"-nya. Pada 9 Januari 1890, dia dibaptis dan dikonfirmasi dan menerima Komuni Kudus pertama dari tangan Patriarkh Venesia. Pada 8 Desember 1896, di Verona, dia mengambil kaul di Kongregasi Suster Canossian dan sejak saat itu, disamping karyanya di sakristi dan di rumah portir di biara, dia telah melakukan beberapa perjalanan disekeliling Italia untuk mempromosikan misinya [maksudnya misi dari kongregasinya]: menurutnya pembebasan yang telah diterima melalui perjumpaannya dengan Allah Yesus Kristus harus dia sebarkan, [pembebasan tersebut] harus diberikan kepada yang lain, kepada sebanyak mungkin orang. Harapan yang lahir dariNya yang telah "menebus"-nya tidak bisa dia miliki sendiri; harapan ini harus mencapai banyak [orang], mencapai semua orang.
Konsep dari harapan berdasar-iman di Perjanjian Baru dan Gereja awal
4. Kita telah memunculkan pertanyaan: bisakah perjumpaan kita dengan Allah, yang dalam Kristus telah menunjukkan kepada kita wajahNya dan membuka hatiNya, menjadi juga bagi kita tidak hanya bersifat "informative" saja tapi "performative"—maksudnya, bisakah [perjumpaan kita dengan Allah] mengubah hidup kita, sehingga kita tahu bahwa kita ditebus melalui harapan yang diekspresikan [melalui perjumpaan tersebut]? Sebelum mencoba untuk menjawab pertanyaan itu, marilah kita kembali sekali lagi ke Gereja awal. Tidaklah sulit untuk menyadari bahwa pengalaman dari gadis-budak Afrika Bakhita juga adalah pengalaman dari banyak [orang] di periode awal Kekristenan yang dipukuli dan dikutuk ke perbudakan. Kekristenan tidak hanya membawa sebuah pesan revolusi sosial bernasib buruk seperti [yang dibawa] Spartacus, yang perjuangannya [ie. Spartacus] mengarah ke begitu banyak pertumpahan darah. Yesus bukanlah Spartacus, Dia tidak sedang berjuang bagi pembebasan politis seperti Barabas atau Bar-Kochba. Yesus, yang Diri-Nya sendiri mati di Salib, membawa sesuatu yang sangat berbeda: sebuah perjumpaan dengan Tuhan semua tuhan, sebuah perjumpaan dengan Allah yang hidup dan karenanya sebuah perjumpaan dengan sebuah harapan yang lebih kuat dari penderitaan-penderitaan perbudakan, sebuah harapan yang mentransformasi hidup dan dunia dari dalam. Apa yang baru disini bisa dilihat dengan lebih jelas lagi di Surat paulus kepada Filemon. Ini adalah sebuah surat pribadi, yang ditulis Paulus dari penjara dan dipercayakan kepada budak yang melarikan diri, Onesimus, bagi majikan Onesimus, yaitu Filemon. Ya, Paulus mengirimkan sang budak kembali ke majikan yang telah ditinggalkannya, bukan memerintah tapi meminta: "Aku mengajukan permintaan kepadamu bagi anakku ... dimana aku telah menjadi bapa baginya dalam penjara ... aku mengirimkan dia kembali kepadamu, mengirimkan hatiku sendiri ... mungkin inilah kenapa dia berpisah darimu untuk sementara, sehingga engkau bisa mendapatkannya kembali untuk selamanya, tidak lagi sebagai budak tapi lebih dari budak, sebagai saudara terkasih..." (Fil 10-16). Mereka yang, menurut status sipil, berdiri dengan yang lain dalam hubungan sebagai majikan-majikan dan budak-budak, sepanjang mereka adalah anggota-anggota dari Gereja yang satu, telah menjadi saudara dan saudari—inilah bagaimana umat Kristen menyebut satu sama lain. Oleh karena baptisan mereka [ie. umat Kristen], mereka telah dilahirkan kembali, mereka telah diberi minuman dari roh yang sama dan mereka menerima Tubuh Tuhan bersama, bersama satu sama lain. Meski bila struktur eksternal tetap tidak berubah [ie. maksudnya struktur sosial di luar Gereja dimana yang atasan tetap atasan yang bawahan tetap bawahan], [namun] hal ini merubah masyarakat dari dalam. Ketika Surat kepada jemat Ibrani mengatakan bahwa umat Kristen di Bumi ini tidak mempunyai tempat tinggal permanen, tapi mencari [tempat tinggal] yang berada di masa depan (bdk. Ibr 11:13-16; Fil 3:20), ini tidak berarti sedetikpun bahwa mereka hanya hidup untuk masa depan: masyarakat masa kini dikenali oleh umat Kristen sebagai orang terasingkan; mereka merupakan milik sebuah masyarakat baru dimana [masyarakat baru itu] adalah tujuan dari peziarahan mereka yang sama dan dimana [masyarakat baru itu] telah diantisipasi dalam perjalanan ziarah tersebut.
5. Kita harus menambahkan sudut pandang yang lebih jauh. Surat Pertama kepada jemaat di Korintus (1:18-31) memberitahu kita bahwa banyak umat Kristen awal berada pada strata sosial bawah, dan justru karena alasan ini [umat Kristen] terbuka terhadap pengalaman akan harapan baru, seperti yang kita lihat dari contoh Bakhita. Namun sejak awal juga ada pertobatan di lingkaran [kaum] aristokrat dan [kaum] berbudaya, karena mereka juga hidup "tanpa harapan dan tanpa Alah di dunia ini". Mitos telah kehilangan kredibilitasnya; agama negara Romawi telah ter-fosil-kan menjadi seremoni sederhana yang dilaksanakan dengan terlalu teliti, namun saat itu [agama negara Romawi] hanyalah sebuah "agama politis". Rasionalisme politis telah mengukung dewa-dewa pada suatu ruang ketidak-nyataan. Para ilahi dilihat dalam berbagai cara di kuasa-kuasa kosmik, namun suatu Allah dimana seseorang bisa berdoa kepada Dia, tidak ada. Paulus mengilustrasikan masalah esensial dari agama saat itu secara akurat ketika dia meng-kontras-kan hidup "menurut Kristus" dan hidup didalam dominasi dari "roh-roh elemental dari alam semesta" (Kol 2:8). Dalam hal ini, sebuah teks dari Santo Gregorius Naziansus [bisa] mencerahkan. Dia mengatakan bahwa pada saat para Majus, dituntun bintang, menyembah Kristus sang raja baru, astrologi telah berakhir, karena bintang-bintang sekarang bergerak pada orbit yang ditentukan Kristus.[2] Adegan ini, nyatanya, membalikkan pandangan-dunia saat itu, yang dengan cara berbeda telah menjadi trend [fashionable] lagi saat ini. Bukanlah roh-roh elemental alam semesta, [ataupun] hukum-hukum materi, yang pada akhirnya mengatur dunia dan umat manusia, tapi seorang Allah yang berpribadi mengatur bintang-bintang, yaitu, alam semesta; bukanlah hukum-hukum materi dan [hukum-hukum] evolusi yang memiliki kata penutup, tapi rasio, kehendak, cinta—sebuah Pribadi. Dan bila kita tahu Pribadi ini dan Dia mengetahui kita, maka kuasa tak-terhentikan dari elemental-elemental material tidak lagi mempunyai kuasa; kita bukanlah budak-budak dari alam semesta dan hukum-hukumnya, kita bebas. Di waktu-waktu kuno, para pemikir yang tulus dan memiliki keingintahuan sadar akan hal ini [ie. sadar bahwa kita bukan budak alam semesta, kita bebas]. Surga tidaklah kosong. Hidup bukan hanya sebuah produk dari hukum-hukum dan keacakan materi, tapi didalam semua hal, dan pada saat yang sama, diatas segala hal, ada kehendak pribadi, ada sebuah Roh yang dalam Yesus mewahyukan diriNya sebagai Cinta.[3]
6. Sarkofagus-Sarkofagus [ie. peti mati berukiran jaman dahulu] di era umat Kristen awal mengilustrasikan konsep ini secara visual—dalam konteks kematian, dihadapan [kematian itu], pertanyaan mengenai makna kehidupan menjadi tak terelakkan. Gambaran dari Kristus ditafsirkan pada sarkofagus-sarkofagus kuno menjadi dua bayangan secara prinsipiil: sang filsuf dan sang gembala. Filosofi pada saat itu tidak dipandang sebagai suatu disiplin akademis yang sulit, seperti yang terjadi saat ini. Namun, filsuf adalah seseorang yang tahu bagaimana mengajar seni yang esensial; seni menjadi manusia secara otentik—seni hidup dan mati. Telah lama disadari bahwa banyak orang berkeliling berpura-pura menjadi filsuf, guru kehidupan, [yang sebenarnya hanyalah seorang] penipu yang mendapat uang melalui kata-kata mereka, [padahal mereka] tidak punya kata apapun mengenai kehidupan yang nyata. Lebih dari itu, sang filsuf sejati, yang memang tahu bagaimana menunjukkan jalan hidup, sangat dicari. Menuju akhir abad ketiga, diatas sebuah sarkofagus seorang anak di Roma, kita menemukan pertama kalinya, dalam konteks kebangkitan Lazarus, bayangan dari Kristus sebagai seorang filsuf sejati, memegang injil di satu tangan dan tongkat bepergian filsuf di tangan yang lain. Dengan tongkatnya, Dia menguasai kematian; Injil membawa kebenaran, [kebenaran] yang dicari si filsuf keliling dengan sia-sia. Dalam gambaran ini, yang kemudian menjadi sebuah fitur yang umum dalam seni sarkofagus untuk waktu yang lama, kita melihat dengan jelas apa yang ditemukan dalam Kristus baik oleh orang terdidik maupun orang sederhana; Dia memberitahu kita siapa manusia itu sebenarnya dan apa yang harus dilakukan manusia untuk menjadi benar-benar manusia. Dia menunjukkan kepada kita jalan [untuk menjadi manusia], dan jalan ini adalah kebenaran. Dia sendiri adalah jalan dan kebenaran, dan karenanya Dia juga adalah kehidupan yang kita semua cari. Dia juga menunjukkan kepada kita jalan diseberang kematian; yang mampu melakukan hanyalah orang yang adalah guru hidup sejati. Hal yang sama menjadi kasat mata di gambaran seorang gembala. Sebagaimana dalam representasi dari sang filsuf, begitu pula melalui gambaran sang gembala, [umat] Gereja awal bisa diidentikkan dengan model seni Romawi saat itu. Disana [ie. di model seni Romawi saat itu] gembala adalah sebuah ekspresi umum akan sebuah mimpi tentang hidup yang damai dan sederhana, yang dirindukan oleh orang-orang ditengah kebingungan kota-kota besar. Sekarang gambaran itu dibaca sebagai bagian dari sebuah skenario baru yang memberikan kandungan yang lebih dalam: "Tuhanlah gembalaku: aku takkan kekurangan ... Meskipun aku berjalan melalui lembah bayang-bayang kematian, aku tidak takut yang jahat, karena Engkau bersamaku ..." (Mzm 23 [22]:1, 4). Gembala sejati adalah dia yang mengetahui jalan yang melalui lembah kematian sekalipun; dia yang berjalan denganku bahkan di jalan kesendirian akhir, dimana tidak ada seorang pun yang menemaniku, [tidak ada seorangpun yang] menuntunku melaluinya; Dia sendiri telah menjalani jalan ini, Dia telah turun ke kerajaan maut, Dia telah menguasai kematian, dan Dia telah kembali untuk menuntun kita sekarang dan memberi kita kepastian bahwa, bersama denganNya, kita bisa menemukan sebuah jalan melalui [kematian]. Kesadaran bahwa ada Seseorang yang bahkan dalam kematian menemaniku, dan yang dengan "gada dan tongkatNya menghibur aku", sehingga "aku tidak takut yang jahat" (bdk. Mzm 23 [22]:4)—inilah "harapan" baru yang muncul atas kehidupan orang yang percaya.
7. Kita harus kembali sekali lagi ke Perjanjian Baru. Di bab kesebelas dari Surat kepada jemaat Ibrani (v. 1) kita menemukan sejenis definisi iman yang berhubungan erat dengan kebajikan harapan. sejak [jaman] reformasi [ie. munculnya Protestantisme] ada perselisihan antar para penafsir atas kata sentral dari frase ini, namun sekarang sebuah jalan menuju penafsiran yang umum tampak terbuka sekali lagi. Untuk waktu ini aku akan membiarkan kata sentral ini tidak diterjemahkan. Kalimat itu karenanya terbaca sebagai berikut: "iman adalah hypostasis dari hal-hal yang diharapkan; bukti dari hal-hal yang tidak kelihatan". Bagi para Bapa [Gereja] dan bagi teolog-teolog abad pertengahan, telah jelas bahwa kata Yunani hypostasis diterjemahkan ke [bahasa] Latin dengan istilah substantia. Karenanya terjemahan Latin dari teks yang dihasilkan pada [jaman] Gereja awal terbaca: Est autem fides sperandarum substantia rerum, argumentum non apparentium—iman adalah "substansi" dari hal-hal yang diharapkan; bukti dari hal-hal yang tidak kelihatan. Santo Thomas Aquinas,[4] menggunakan terminologi dari tradisi gerejawi dimana dia berada [ie. St. Thomas adalah umat Gereja Katolik Barat dengan tradisi Gereja Katolik Barat, bedakan dengan tradisi Gereja Katolik Timur], menjelaskannya sebagai berikut: iman adalah sebuah habitus, yaitu, sebuah disposisi yang stabil atas roh, yang melalui [roh itu] hidup abadi berakar dalam kita dan rasio dituntun untuk menyepakati apa yang tidak dilihat olehnya [ie. rasio]. Konsep dari "substansi", dimodifikasi dalam artian bahwa melalui iman, secara samar, atau kalau boleh kita sebut "dalam bentuk embrio"—dan karenanya menurut "substansi" tersebut—telah hadir dalam kita hal-hal yang diharapkan: [yaitu] kehidupan yang menyeluruh dan sejati. Dan tepatnya karena hal tersebut sudah hadir, kehadiran dari apa yang akan datang ini juga menciptakan kepastian: "hal" yang harus datang ini belumlah terlihat di dunia eksternal (["hal" tersebut] tidak "nampak"), tapi karena fakta bahwa, sebagai suatu realitas permulaan dan dinamis, kita membawanya dalam diri kita, sebuah persepsi tertentu akan ["hal" tersebut] bahkan sekarang telah menjadi ada. Bagi Luther, yang kurang suka terhadap Surat kepada jemaat Ibrani, konsep dari "substansi", dalam konteks pandangan [Luther] akan iman, tidak berarti apa-apa. Atas alasan ini dia memahami istilah hypostasis/substansi tidak dalam artian obyektif (dari realitas yang hadir dalam diri kita), tapi dalam artian subyektif, sebuah ekspresi dari sikap interior, dan karenanya, dengan wajar, dia juga harus memahami istilah argumentum sebagai sebuah disposisi dari [sang] subyek. Pada abad ke dua puluh penafsiran ini menjadi begitu umum—paling tidak di Jerman—di exegesis ["ilmu tafsir"] Katolik juga, sehingga terjemahan ekumenis Perjanjian Baru kedalam bahasa Jerman, yang diakui oleh Uskup-Uskup, terbaca sebagai berikut: Glaube aber ist: Feststehen in dem, was man erhofft, Überzeugtsein von dem, was man nicht sieht (iman adalah: berdiri tegak atas apa yang diharapkan seseorang, diyakinkan oleh apa yang tidak dilihat seseorang [tersebut]. [Terjemahan] ini sendiri tidaklah tidak tepat, tapi [terjemahan itu] bukanlah maksud dari teks [Kitab suci], karena kata Yunani yang digunakan (elenchos) tidak mempunyai artian subyektif dari "keyakinan" tapi artian obyektif dari "bukti". Dengan tepat, karenanya, exegesis [ie. "ilmu tafsir"] Protestant akhir-akhir ini telah tiba pada penafsiran yang berbeda: "Namun tidak dapat dipertanyakan lagi bahwa pemahaman Protestant klasik tersebut [ie. pemahaman seperti yang terlihat di terjemahan ekumenis Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jerman diatas] tidak bisa dipertahankan."[5] Iman bukanlah hanya suatu gapaian [dari kata dasar "gapai" seperti digunakan dalam kata "menggapai"] pribadi kepada hal-hal yang akan datang yang sekarang masih absen total: [imam] memberi kita sesuatu. [Iman] memberi kita, bahkan sekarang ini, sesuatu dari realitas yang kita tunggu, dan realitas saat kini tersebut memberikan kita sebuah "bukti" dari hal-hal yang masih tidak kelihatan. Iman menarik masa depan ke saat ini, sehingga [masa depan tersebut] tidak lagi sekedar sebuah "belum". Fakta bahwa masa depan ini ada [pada saat ini] mengubah saat kini; saat kini [atau "masa kini"] disentuh oleh realitas masa depan, dan karenanya hal-hal dari masa depan tertumpahkan ke masa kini dan [hal-hal] masa kini [tertumpahkan] ke masa depan.
8. Penjelasan ini kemudian lebih dikuatkan dan dihubungkan kepada hidup keseharian bila kita mempertimbangkan ayat ke 34 dari bab kesepuluh Surat kepada jemaat Ibrani, yang dihubungkan oleh perbendaharaan bahasa ["vocabulary"] dan kandungan dari definisi iman yang dipenuhi harapan ini dan menyiapkan jalan baginya. Disini sang pengarang berbicara kepada umat yang percaya yang telah melalui pengalaman penganiayaan dan dia berkata kepada mereka: "engkau memiliki compassion (ie. rasa kasihan terhadap penderitaan orang lain) kepada para tahanan, dan engkau dengan gembira menerima perampasan atas hartamu (hyparchonton—[Alkitab versi Vulgata dalam bahasa Latin menerjemahkan kata hyparchonton tersebut dengan] bonorum), karena engkau tahu dirimu sendiri mempunyai milik (hyparxin —[Alkitab versi Vulgata dalam bahasa Latin menerjemahkan kata hyparxin tersebut dengan] substantiam) yang lebih baik dan yang lebih menetap sifatnya. "Hyparchonta" mengacu pada kepemilikan ("property"], pada apa yang di kehidupan dunia ini merupakan sarana pendukung [ie. sarana pendukung kehidupan], yang memang merupakan hal-hal mendasar [ie. kebutuhan mendasar], [dan adalah] "substansi” dari hidup, [hal-hal] yang kita bergantung [padanya]. "Substansi" ini, [yang merupakan] sumber rasa aman kehidupan, telah diambil dari umat Kristen selama masa penganiayaan. Meskipun begitu mereka tetap teguh karena mereka menganggap substansi materi ini tidak begitu berpengaruh. Mereka bisa meninggalkannya karena mereka mempunyai "dasar" yang lebih baik bagi eksistensi mereka—sebuah dasar yang menetap, yang tidak seorangpun dapat mengambilnya. Kita tidak sepatutnya melewatkan hubungan antara dua "substansi" ini, [yaitu] antara sarana pendukung [hidup] atau dasar materi dan sabda iman yang juga adalah suatu "dasar", suatu "substansi" yang berketahanan. Iman memberi hidup sebuah dasar baru, sebuah pondasi baru dimana kita bisa berdiri, yang merelatifkan pondasi habitual ["habit" = "kebiasaan"], [yaitu] kebergantungan terhadap pendapatan materi. Sebuah kebebasan baru diciptakan dengan menghargai pondasi habitual atas hidup ini, yang hanya nampak mampu memberikan dukungan [terhadap kehidupan], meskipun kebebasan baru tersebut jelas-jelas tidak menolak artian normalnya. Kebebasan baru ini, kesadaran akan "substansi" baru yang telah kita terima tersebut, tersingkapkan tidak hanya dalam [peristiwa] ke-martir-an, dimana orang melawan kuasa ideologis yang mencekam dan organ-organ politisnya dan, oleh kematian mereka, memperbaharui dunia. Diatas segalanya, [hal tersebut, yaitu kebebasan baru tersebut] terlihat dalam tindakan penyangkalan yang agung, dari rahib-rahib jaman kuno sampai ke Santo Fransiskus dari Assisi, dan mereka sekarang ini yang memasuki Institusi dan gerakan religi modern dan meninggalkan semuanya bagi cinta akan Kristus, untuk membawa para pria dan wanita beriman kepada cinta akan Kristus, dan untuk membantu mereka yang menderita badani dan rohani. Dalam kasus mereka, "substansi" baru ini telah terbukti sebagai sebuah "substansi" asli dari harapan orang-orang yang telah disentuh oleh Kristus ini, harapan mengalir bagi sesama lain yang hidup didalam kegelapan dan tanpa harapan. Dalam kasus mereka, telah terdemonstrasikan bahwa kehidupan baru ini benar-benar memiliki dan adalah "substansi" yang memanggil kehidupan bagi sesama lainnya. Bagi kita yang meng-kontemplasi-kan gambaran-gambaran ini, tindakan dan kehidupan mereka [ie. para rahib] adalah sebuah "bukti" de facto bahwa hal-hal yang akan datang, janji Kristus, bukanlah sebuah realitas yang kita tunggu, tapi kehadiran nyata: Dia benar-benar sang "filsuf" dan "gembala" yang menunjukkan kepada kita apa hidup itu dan dimana [hidup itu] ditemukan.
9. Untuk mengerti lebih mendalam refleksi atas dua type substansi ini—hypostasis dan hyperchonta—dan dua pendekatan atas hidup yang diekspresikan oleh dua istilah tersebut, kita harus melanjutkan dengan pertimbangan singkat atas dua kata yang berkaitan kepada diskusi ini yang bisa ditemukan di bab kesepuluh Surat kepada jemaat Ibrani. Aku mengacu pada kata hypomone (10:36) dan hypostole (10:39). Hyponome normalnya diterjemahkan sebagai "kesabaran"—ketekunan ["perseverance"], ketetapan ["constancy"]. Tahu bagaimana untuk menanti, sementara secara sabar bertekun menghadapai ujian, adalah [hal] yang penting bagi umat yang percaya untuk dapat "menerima apa yang dijanjikan" (10:36). Dalam konteks religius Yudaisme kuno, kata ini digunakan untuk mengekspresikan harapan akan Allah yang merupakan karakteristik orang Israel, yaitu kesetian mereka yang tekun pada Allah atas dasar kepastian terhadap Perjanjian didalam dunia yang berlawanan dengan Allah. Karenanya kata tersebut mengindikasikan sebuah harapan yang dihidupi, sebuah kehidupan yang didasarkan atas kepastian harapan. Di Perjanjian Baru harapan akan Allah ini, berdiri bersama Allah ini, memiliki suatu signifikansi baru: dalam Kristus, Allah telah mewahyukan diriNya sendiri. Dia telah mengkomunikasikan kepada kita "substansi" dari hal-hal yang akan datang, dan karenanya harapan akan Allah mendapatkan sebuah kepastian baru.
[Kepastian baru itu] adalah harapan akan hal-hal yang akan datang melalui perspektif atas masa kini yang telah diberikan. [Kepastian baru itu] adalah melihat-kedepan dalam kehadiran Kristus, dengan Kristus yang juga hadir, menuju penyempurnaan tubuhNya, untuk kedatanganNya yang definitif. Kata hypostole, disisi lain, bermakna bersembunyi dibelakang ["shrinking back"] karena kurangnya keberanian untuk berbicara secara terbuka dan gamblang atas kebenaran, [dimana berbicara seperti itu] mungkin berbahaya. Bersembunyi lewat roh ketakutan mengarah kepada "kebinasaan" (Ibr 10:39). "Allah tidak memberikan kita roh ketakutan tapi roh kekuatan dan cinta dan pengendalian diri"—yang, secara kontras, adalah suatu cara yang indah dimana Surat Kedua kepada Timotius (1:7) mendeskripsikan sikap fundamental umat Kristen.
Hidup abadi – apa itu?
10. Kita telah berbicara sejauh ini akan iman dan harapan di Perjanjian Baru dan di jemaat Kristen awal; namun selalu jelas bahwa kita mengacu tidak hanya kepada masa lalu: refleksi keseluruhan [ini] berkaitan dengan hidup dan mati secara umum, dan karenanya [keseluruhan refleksi ini] berkaitan dengan kita disini dan sekarang. Jadi sekarang kita harus bertanya secara eksplisit: apakah iman Kristen bagi kita hari ini [merupakan] sebuah harapan yang mengubah-hidup dan memelihara-hidup?
Apakah [iman Kristen bagi kita sekarang ini] "performative"—apakah [iman Kristen bagi kita sekarang ini] adalah sebuah pesan yang membentuk hidup kita dengan cara baru, atau [iman Kristen tersebut] hanya sekedar "informasi" yang, untuk saat ini, kita pinggirkan dan yang sekarang bagi kita sepertinya telah digantikan oleh informasi yang lebih mutakhir? Dalam pencarian atas sebuah jawaban, aku ingin memulai dengan bentuk klasik dari dialog yang diekspresikan oleh ritual Baptisan [pada bagian] penerimaan bayi ke komunitas umat yang percaya dan kelahiran kembali bayi tersebut dalam Kristus. Pertama-tama imam menanyakan nama apa yang dipilih orang tua bagi anak tersebut, dan kemudian dia melanjutkan dengan pertanyaan: "Apa yang kau minta dari Gereja?" Jawaban: "Iman". "Dan apa yang diberi iman kepadamu?" "Hidup abadi". Menurut dialog ini, sang orang tua mencari akses kepada iman bagi anak mereka, persekutuan dengan umat yang percaya, karena mereka melihat pada iman tersebut kunci ke "kehidupan abadi". Sekarang ini seperti di masa lalu, ini adalah makna [ketika seseorang] dibaptis, [ketika seseorang] menjadi Kristen: [Baptisan] bukan hanya tindakan sosialisasi dengan komunitas, bukan sekedar ucapan selamat datang ke Gereja. Sang orang tua mengharapkan lebih bagi orang yang dibaptis: mereka mengharapkan iman tersebut, yang termasuk didalamnya [adalah] hakikat badaniah dari Gereja dan sakramen-sakramennya, [dimana semua itu] akan memberikan hidup kepada anak mereka—hidup abadi. Iman adalah substansi dari harapan. Tapi kemudian [sebuah] pertanyaan muncul: apakah kita benar-benar menginginkan ini—hidup abadi? Banyak orang menolak iman sekarang ini hanya karena mereka tidak menemukan prospek dari [suatu] hidup abadi menarik. Apa yang mereka inginkan bukanlah hidup abadi, tapi hidup saat ini, dimana iman akan hidup abadi malahan bagai suatu penghalang. Untuk terus hidup selamanya—tak berkesudahan—nampaknya lebih seperti kutukan daripada suatu karunia. Kematian, diakui, [merupakan sesuatu] yang oleh orang ingin untuk ditunda selama mungkin. Tapi untuk selalu hidup, tanpa akhir—ini, mempertimbangkan semuanya, hanya bisa [terasa] monoton dan akhirnya tak tertahankan. Inilah yang justru point yang dibuat, contohnya, oleh Santo Ambrosius, salah satu Bapa Gereja, di pidato pemakaman saudaranya Satyrus yang meninggal: "Kematian bukanlah bagian dari kodrat hidup; [kematian] menjadi bagian dari kodrat [hidup]. Allah tidak menitahkan kematian sejak awal. Dia membuatnya sebagai suatu obat. Kehidupan manusia, karena dosa … mulai mengalami beban dari kebusukan kerja tak terhapuskan dan kepedihan yang tak tertahankan. Harus ada akhir dari kejahatan tersebut [ie. kejahatan dari kebusukan kerja tak terhapuskan dan kepedihan yang tak tertahankan], kematian harus mengembalikan apa yang telah dibuang oleh hidup. Tanpa bantuan rahmat, ketidak-bisa-mati-an lebih merupakan beban daripada sebuah berkah." [6] Lebih awal sedikit, Ambrosius telah mengatakan: "Kematian, karena itu bukanlah alasan untuk kedukaan, karena [kematian] adalah penyebab keselamatan manusia". [7]
11. Apapun yang tepatnya dimaksudkan Santo Ambrosius atas kata-kata tersebut, adalah benar bahwa untuk menghilangkan kematian atau untuk menundanya untuk suatu waktu tertentu akan menempatkan bumi dan umat manusia pada situasi yang tidak mungkin, dan bahkan bagi individu [hal tersebut] tidak akan memberikan keuntungan. Tentu saja ada kontradiksi atas sikap kita, yang menunjuk kepada kontradiksi mendalam atas eksistensi kita. Di satu sisi, kita tidak ingin mati; diatas segalanya, mereka yang mencintai kita tidak ingin kita mati. Namun disisi lain, kita juga tidak ingin hidup terus untuk waktu yang tak tertentukan, bumi pun tidak diciptakan menurut pandangan itu [ie. pandangan bahwa umat manusia akan hidup terus untuk waktu yang tak tertentukan]. Jadi sebenarnya apa yang benar-benar kita inginkan? Sikap paradoksial ["paradoks" = "sesuatu yang kelihatannya berlawanan padahal tidak"] memunculkan pertanyaan yang lebih dalam: apa sebenarnya "hidup"? Dan apa sebenarnya makna "keabadian"? Ada saat-saat dimana tiba-tiba hal itu menjadi jelas bagi kita: ya, inilah "hidup" yang sebenarnya—seperti inilah yang seharusnya. Lagipula, apa yang kita sebut "hidup" dalam bahasa kita sehari-hari bukanlah "hidup" sama sekali. Santo Agustinus, dalam surat panjang mengenai doa yang dia alamatkan kepada Proba, seorang janda Romawi yang kaya dan ibu dari tiga konsul, menulis ini: pada akhirnya kita menginginkan satu hal—"hidup berbahagia", hidup yang hanya hidup, hanya "kebahagiaan". Pada analisa final, tidak ada hal lain yang kita minta untuk doa [kita]. Perjalanan kita tidak punya tujuan lain—[Perjalanan itu] hanyalah untuk hal tersebut saja. Tapi kemudian Agustinus juga berkata: melihat lebih dekat, kita tidak punya gagasan apa yang pada akhirnya kita inginkan, apa yang sebenarnya kita sukai. Kita tidak tahu realitas ini sama sekali; bahkan di saat-saat ketika kita berpikir kita telah menjangkau dan menyentuhnya, hal itu kabur dari kita. "Kita tidak tahu apa yang harus kita doakan sebagaimana kita harus [doakan]," katanya, mengutip Santo paulus (Rom 8:26). Yang kita ketahui hanyalah bahwa [yang kita inginkan] bukan ini. Namun dalam tidak mengetahui, kita tahu bahwa realitas ini haruslah ada. "Karenanya ada dalam kita suatu ketidaktahuan-yang-terpelajari (docta ignorantia), begitu kira-kira", tulisnya. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya kita sukai; kita tidak tahu apa "hidup sejati" ini; namun kita tahu bahwa harus ada sesuatu yang tidak kita ketahui dimana [hal tersebut] membuat kita tergerakkan.[8]
12. Aku pikir bahwa dengan cara yang sangat tepat dan sah secara permanen, Agustinus mendeskripsikan situasi pokok manusia, situasi yang memunculkan kontradiksi-kontradiksinya dan harapan-harapannya. Dalam suatu cara kita ingin hidup itu sendiri, kehidupan sejati, yang tak tersentuhkan bahkan oleh kematian; namun di saat yang sama kita tidak tahu hal yang menggerakkan kita [kesitu]. Kita tidak dapat berhenti menjangkaunya, namun kita tahu bahwa semua yang bisa kita alami dan capai bukanlah apa yang kita dambakan. "Hal" tak diketahui ini adalah "harapan" sejati yang menggerakkan kita, dan pada saat yang sama fakta bahwa [harapan sejati tersebut] adalah sesuatu yang tak diketahui merupakan sebab dari semua bentuk keputus-asaan dan juga [sebab] dari semua upaya, baik positif maupun destruktif, yang diarahkan kepada otentisitas duniawi atau otentisitas manusia. Istilah "hidup abadi" dimaksudkan untuk memberi nama dari "[hal] tak diketahui" yang [kita] tahu [ie. maksudnya kita tidak tahu hal itu seperti apa, tapi kita tahu bahwa hal itu ada]. Tak terelakkan [istilah "hidup abadi" tersebut] adalah istilah yang kurang memadai yang menciptakan kebingungan. "Keabadian", kenyataannya, memberikan gambaran pada kita suatu gagasan akan sesuatu yang tidak berakhir, dan ini menakutkan kita; "hidup" membuat kita berpikir akan hidup yang kita ketahui dan cintai dan tidak ingin [kita] hilangkan, meskipun sering [hidup] tersebut membawa kesulitan daripada kepuasan, sehingga sementara disatu sisi kita menginginkannya, disisi lain kita tidak menginginkannya. Untuk membayangkan diri kita sendiri diluar kesementaraan yang memenjarakan kita dan dengan suatu cara merasakan bahwa keabadian bukanlah pergantian hari yang tak berakhir di kalender, tapi sesuatu yang lebih merupakan saat paling tinggi dari kepuasan, yang totalitasnya memeluk kita dan kita memeluk totalitas—[semua] ini kita hanya bisa mencoba. [Mencoba hal tersebut] akan seperti mencebur kedalam lautan cinta tak terbatas, sebuah saat dimana waktu—sebelum dan sesudah—tidak lagi ada. Kita hanya bisa mencoba untuk memahami gagasan bahwa saat tersebut adalah [saat dimana] hidup dalam makna yang penuh, sebuah penceburan yang selalu baru kedalam keluasan keberadaan, dimana kita sekedar terliputi dengan kesukacitaan. Inilah bagaimana Yesus meng-ekspresikan-nya di Injil Santo Yohanes: "Aku akan melihat engkau lagi dan hatimu akan bersuka cita, dan tidak ada yang akan mengambil sukacitamu darimu" (16:22). Kita harus berpikir seperti itu bila kita ingin mengerti obyek dari harapan Kristen, untuk mengerti apa yang iman kita, [apa yang] keberadaan kita dengan Kristus, arahkan kita untuk berharap.[9]
Apakah harapan Kristen individualistis?
13. Dalam sejarahnya, umat Kristen telah mencoba untuk mengekspresikan [konsep] "mengetahui tanpa mengetahui" ini dengan menggunakan gambaran-gambaran yang bisa diwakilkan, dan mereka telah mengembangkan bayangan-bayangan "Surga" yang jauh dari apa yang bisa diketahui secara negatif, [yaitu] melalui ketidaktahuan. [catatan DeusVult: kalimat ini agak rumit, pada dasarnya yang ingin disampaikan adalah, surga biasanya digambarkan secara negatif, tapi umat Kristen sepanjang sejarah mencoba untuk menggambarkan Surga jauh dari cara yang negatif tersebut dengan berbagai gambaran mereka yang mereka dapatkan melalui ketidaktahuan mereka akan surga. Yang dimaksud menggambarkan secara negatif adalah mendefinisikan sesuatu menurut apa yang bukan dari sesuatu itu, misalnya, "surga itu bukanlah..." Sedangkan mendefinisikan sesuatu secara positif adalah seperti, "surga itu adalah..."]. Semua usaha untuk mewakilkan [kehadiran] harapan [ini] telah memberi banyak orang sepanjang abad insentif untuk hidup oleh iman dan karenanya juga meninggalkan hyperchonta mereka, [yaitu] substansi material bagi kehidupan mereka. Pengarang dari Surat kepada jemaat Ibrani, di bab kesebelas, menggariskan semacam sejarah dari mereka yang hidup dalam iman dan akan perjalanan [mereka], sebuah sejarah yang merentang dari masa Habil ke masa si pengarang sendiri. Tipe harapan ini telah menjadi bahan kritik yang keras di masa modern ini: [harapan seperti itu] diabaikan sebagai individualisme murni, sebuah cara meninggalkan dunia kepada kesuraman [sang dunia] dan mengungsi kedalam bentuk pribadi atas keselamatan abadi. Henri de Lubac, dalam perkenalan [introduction] di bukunya yang seminal yaitu Catholicisme. Aspects sociaux du dogme, menata beberapa artikulasi karakteristik dari pandangan ini, satu yang layak dikutip: "Haruskah aku menemukan kegembiraan? Tidak ... hanya kegembiraanku, dan itu adalah sesuatu yang sangat berbeda ... Kegembiraan Yesus bisa [bersifat] pribadi. [Kebahagiaan Yesus] bisa dimiliki satu orang dan dia terselamatkan. Dia dalam damai ... sekarang dan selalu, tapi dia sendiri. Isolasi dari kegembiraan ini tidak mengganggu dia. Sebaliknya: dia adalah sang terpilih! Dalam kebahagiaannya dia melalui medan pertempuran dengan mawar di tangannya." [10]
14. Melawan [pandangan yang digambarkan olehnya] ini, [dengan] mengambil dari teologi patristic yang luas, de Lubac mampu menunjukkan bahwa keselamatan selalu dianggap sebagai suatu realitas "sosial". Memang, Surat kepada jemaat Ibrani berbicara mengenai sebuah "kota" (bdk. 11:10, 16; 12:22; 13:14) dan karenanya, sebuah keselamatan komunal. Secara konsisten dengan pandangan ini, dosa dianggap oleh para Bapa [Gereja] sebagai kehancuran dari kesatuan bangsa manusia, sebagai pengkotakan dan perpecahan. Babel, tempat dimana bahasa-bahasa dikacaukan, tempat perpisahan, dilihat sebagai suatu ekspresi atas apa itu dosa secara fundamental. Karenanya "penebusan" tampak sebagai pendirian kembali dari kesatuan, dimana kita datang bersama sekali lagi dalam suatu kesatuan yang mulai mengambil bentuk di komunitas umat yang percaya di dunia. Marilah kita berkonsentrasi kepada Surat kepada Proba dimana Agustinus mencoba mengilustrasikan pada suatu tingkat "ketidaktahuan yang diketahui" yang kita cari ini. Titik berangkat [Agustinus] hanyalah ekspresi "kehidupan berbahagia". Kemudian dia mengutip Mazmur 144 [143]:15: "Berbahagialah orang-orang yang Allahnya adalah Tuhan." Dan dia melanjutkan: "Supaya dihitung diantara orang-orang ini dan mendapat ... hidup takberkesudahan dengan Allah, 'akhir dari perintah itu adalah kasih yang keluar dari hati yang murni dan [dari] nurani yang baik dan iman yang tulus' (1 Tim 1:5)." [11] Hidup yang nyata ini, yang kita coba untuk jangkau lagi dan lagi, dihubungkan dengan sebuah kesatuan yang dihidupi dengan suatu "orang-orang", dan bagi tiap individu hal tersebut hanya dapat didapatkan dalam "ke-kami-an" ini. [Semua ini] mensyaratkan bahwa kita lolos dari penjara "ke-aku-an" kita, karena hanya dalam keterbukaan dari subyek universal ini pandangan kita [bisa] terbuka kepada sumber kegembiraan, kepada cinta itu sendiri—kepada Allah.
15. Sementara visi yang community-oriented dari "kehidupan berbahagia" ini memang diarahkan melampaui dunia sekarang, [namun visi itu] juga punya kaitan dengan pembangunan dunia [sekarang] ini—dengan cara yang berbeda menurut konteks sejarah dan kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkan dan yang dikecualikan [oleh sejarah tersebut]. Pada masa Agustinus, masuknya orang-orang baru secara tiba-tiba telah memaksa kerekatan dunia, dimana sebelumnya ada semacam jaminan hukum dan [jaminan] kehidupan dalam suatu masyarakat yang tertata secara yuridis; [sehingga] pada [situasi seperti] itu masalahnya adalah menguatkan pondasi-pondasi dasar dari keberadaan masyarakat yang damai ini, untuk bertahan hidup di dunia yang berubah. Marilah kita sekarang mempertimbangkan satu episode dari Abad Pertengahan, yang kurang lebih dipilih secara acak, yang berfungsi, dalam banyak hal, untuk mengilustrasikan apa yang kita coba untuk katakan. Cukup umum untuk dipikirkan pada saat itu bahwa biara adalah tempat untuk pergi dari dunia (contemptus mundi) dan untuk menarik diri dari tanggungjawab dunia bagi pencarian keselamatan pribadi. Bernard dari Clairvaux, yang menginspirasi banyak orang muda untuk masuk ke biara dari Ordonya yang sudah direformasi, mempunyai perspektif yang cukup berbeda akan hal ini [maksudnya pemikiran umum bahwa biara adalah tempat untuk pergi dari dunia dan menarik diri dari tanggungjawab dunia]. Dalam pandangannya, biarawan melakukan suatu tugas bagi seluruh Gereja dan karenanya juga bagi dunia. Dia menggunakan banyak gambaran untuk mengilustrasikan tanggungjawab yang dipunyai para biarawan kepada keseluruhan tubuh Gereja, dan tentu saja kepada kemanusiaan; dia menerapkan kepada mereka kata-kata dari [buku] pseudo-Rufinus: "Bangsa manusia hidup berkat beberapa [orang]; kalau bukan karena mereka, dunia akan lenyap ...".[12] [Para] kontemplatif—contemplantes—harus menjadi pekerja-pekerja agrikultural—laborantes—katanya. Kehormatan dari bekerja, yang diwarisi umat Kristen dari Yudaisme, telah diekspresikan di aturan membiara Agustinus dan Benediktus. Bernard mengambil lagi gagasan tersebut. Para bangsawan muda yang mengerubuti biaranya harus melakukan kerja manual. Nyatanya, Bernard menyatakan secara eksplisit bahwa bahkan biarapun tidak dapat mengembalikan Firdaus, tapi dia berketetapan bahwa [biara], sebagai suatu tempat "penggemburan tanah" praktis dan spiritual, harus mempersiapkan Firdaus baru tersebut. Sebidang tanah hutan rimba dibuat subur—dan dalam prosesnya, pohon-pohon kebanggaan dijatuhkan, apapun ilalang yang mungkin tumbuh didalam jiwa-jiwa semuanya dicabut, dan karenanya tanah dipersiapkan sehinga roti bagi tubuh dan jiwa bisa berkembang.[13] Apakah kita tidak melihat sekali lagi, dalam terang sejarah saat ini, bahwa tidak ada tatanan dunia positif yang dapat makmur dimana jiwa-jiwa terlalu matang?
Transformasi atas harapan-iman Kristen di jaman modern
16. Bagaimana berkembangnya gagasan bahwa pesan Yesus adalah [sebuah] individualistik sempit dan ditujukan hanya kepada tiap-tiap orang? Bagaimana kita tiba pada penafsiran [bahwa] "keselamatan jiwa" merupakan suatu pelarian dari tanggungjawab bagi kesemuanya, dan bagaimana kita memikirkan [bahwa] proyek Kristen [adalah] suatu pencarian egois untuk keselamatan yang menolak gagasan akan pelayanan kepada yang lain? Untuk menemukan jawaban atas ini kita harus melihat pada pondasi-pondasi dari jaman modern. Hal ini nampak cukup jelas dalam pemikiran Francis Bacon. Melalui ditemukannya Amerika [sebagai benua baru] dan pencapaian-pencapaian tekhnis baru yang membuat perkembangan ini mungkin, suatu era telah muncul, dan ini takterpungkiri. Tapi apa dasar dari era baru ini? [Dasar tersebut] adalah korelasi baru akan eksperimen dan metode yang memampukan manusia untuk tiba pada penafsiran akan alam yang sesuai dengan hukum-hukumnya dan pada akhirnya mencapai "kejayaan dari seni atas alam" (victoria cursus artis super naturam). [14] Hal baru dan asing ini—menurut visi Bacon—terletak dalam sebuah korelasi baru antara ilmu pengetahuan [science] dan praxis ["praxis" = "cara atau metode untuk melakukan sesuatu yang diterima khalayak"]. Hal ini juga memberi aplikasi teologis: korelasi baru antara ilmu pengetahuan dan praxis akan berarti bahwa dominasi atas ciptaan—[yang] diberikan kepada manusia oleh Allah dan hilang melalui dosa asal—akan dibuat kembali.[15]
17. Siapapun yang membaca dan bercermin pada pernyataan-pernyataan ini dengan penuh perhatian akan menyadari bahwa sebuah langkah yang [cukup] mengganggu telah diambil: sampai saat itu [ie. saat pembuatan kembali dominasi atas ciptaan karena adanya korelasi baru antara ilmu pengetahuan dan praxis], pemulihan kembali atas apa yang dihilangkan manusia melalui pengusiran [manusia] dari Firdaus diharapkan dari iman dalam Yesus Kristus: disinilah terletak "penebusan". Nah, "penebusan" ini, [yaitu] pemulihan "Firdaus" yang hilang, tidak lagi diharapakan dari iman tapi dari suatu hubungan yang baru ditemukan antara ilmu pengetahuan dan praxis. Bukannya iman sekedar di-ingkari; namun [iman] dipindahkan ke tingkatan lain—[ke tingkatan] yang murni pribadi dan [berkaitan dengan] masalah-masalah duniawi lain—dan pada saat yang sama [iman] menjadi agak tidak relevan bagi dunia. Visi programatik ini telah menentukan arah pantul masa modern dan juga membentuk krisis iman saat ini yang secara esensial adalah krisis dari harapan Kristen. Karenanya, dalam [pemikiran] Bacon, harapan juga mendapatkan bentuk barunya. Sekarang harapan disebut: iman kepada kemajuan. Bagi Bacon, jelaslah bahwa munculnya banyak hal-hal yang ditemukan dan penemuan-penemuan hanya merupakan sebuah awal: melalui interplay ilmu pengetahuan dan praxis akan ikut [muncul] penemuan-penemuan baru, sebuah dunia yang benar-benar baru akan muncul, kerajaan manusia.[16] Dia [ie. Bacon] bahkan mengajukan sebuah visi akan perangkat-perangkat penemuan baru yang bisa diprediksikan—termasuk didalamnya kapal udara dan kapal selam. Seiring dengan perkembangan lebih lanjut [dari] ideologi kemajuan, kegembiraan atas kemajuan yang kasat mata dalam potensi manusia menjadi suatu konfirmasi terus menerus atas iman akan kemajuan.
18. Pada saat yang sama, dua kategori menjadi semakin penting bagi gagasan akan kemajuan: rasio dan kebebasan. Kemajuan terutamanya dihubungkan dengan dominasi rasio yang meningkat, dan rasio ini tentunya dianggap sebagai suatu daya yang baik dan daya bagi kebaikan. Kemajuan adalah penaklukan atas semua bentuk ketergantungan—[penaklukkan atas semua bentuk ketergantungan] adalah kemajuan kearah kebebasan sempurna. Sesuai dengannya kebebasan dilihat murni sebagai sebuah janji, dimana manusia menjadi dirinya dengan penuh [secara] lebih dan lebih. Dalam kedua konsep—[yaitu] kebebasan dan rasio—ada aspek politis. Kenyataannya kerajaan rasio diperkirakan sebagai kondisi baru umat manusia setelah [umat manusia] mendapatkan kebebasan total. Namun pada pandangan pertama kondisi politik dari sebuah kerajaan rasio dan kebebasan tersebut nampak agak terdefinisikan secara keliru. Karena kebenaran intrinsiknya, rasio dan kebebasan sepertinya menjamin, [atas] diri mereka ["mereka" = "rasio dan kebebasan"] sendiri, sebuah komunitas manusia yang baru dan sempurna. Namun, dua konsep kunci dari "rasio" dan "kebebasan" diterjemahkan secara verbal sebagai [konsep-konsep] yang berkonflik dengan belenggu iman dan [belenggu] Gereja dan juga [berkonflik] dengan struktur politik jaman itu. Kedua konsep tersebut karenanya mengandung sebuah potensi revolusioner dengan kekuatan ledakan yang besar.
19. Kita harus melihat lebih singkat dua tahapan esensial dari realisasi politik atas harapan ini, karena hal tersebut penting bagi perkembangan harapan Kristen, bagi sebuah pengertian yang tepat akannya [ie. akan "harapan ini" tersebut] dan atas alasan-alasan bagi kengototannya [ie. "harapan ini"]. Pertama ada Revolusi Prancis—sebuah upaya untuk menetapkan aturan rasio dan kebebasan sebagai sebuah realitas politis. Pada awalnya, Eropa di Jaman Pencerahan melihat dengan keterpesonaan pada peristiwa-peristiwa ini [ie. peristiwa seputar Revolusi Prancis], yang seiring dengan berkembangnya peristiwa tersebut, [peristiwa itu] telah menyebabkan refleksi baru atas rasio dan kebebasan. Sebuah ilustrasi yang baik atas dua fase dalam penerimaan atas peristiwa-peristiwa tersebut di Prancis ditemukan pada dua essay oleh Immanuel Kant dimana dia merefleksikan apa yang telah terjadi. Pada 1792 dia menulis Der Sieg des guten Prinzips über das böse und die Gründung eines Reiches Gottes auf Erden ("Kemenangan Kebaikan atas Prinsip Jahat dan Pendirian Sebuah Kerajaan Allah di Bumi"). Di teks ini dia mengatakan yang berikut: "transisi sedikit demi sedikit atas iman gerejawi kepada kedaulatan eksklusif dari iman religius murni adalah datangnya Kerajaan Allah."[17] Dia juga mengatakan kepada kita bahwa revolusi-revolusi bisa mempercepat transisi dari iman gerejawi ke iman rasional ini. Disini "Kerajaan Allah" yang diproklamirkan Yesus mendapatkan sebuah definisi baru dan mengambil sebuah modus kehadiran baru; sebuah "pengharapan yang akan segera terjadi" muncul ke eksistensi/keberadaan: "Kerajaan Allah" tiba dimana "iman gerejawi" dilenyapkan dan diganti oleh "iman religius", yaitu, dengan iman rasional sederhana. Pada 1795, dalam teks Das Ende aller Dinge ("Akhir Dari Semuanya") sebuah gambaran yang telah berubah nampak. Sekarang Kant mempertimbangkan kemungkinan bahwa sebagaimana [ada] akhir alami dari semua hal, mungkin juga ada [akhir] lain yang tidak alami, sebuah akhir yang melenceng. Dia menulis dalam hubungan ini: "Bila Kekristenan pada suatu hari akan berhenti [menjadi sesuatu] yang layak [untuk mendapatkan] cinta ... maka modus yang populer ["prevailing"] dalam pemikiran manusia adalah penolakan dan perlawanan atasnya; dan sang Antikristus ... akan memulai rezimnya yang pendek (diasumsikan [rezim itu] didasari oleh ketakutan dan egoisme); namun kemudian, karena Kekristenan, meskipun ditakdirkan menjadi agama dunia, pada kenyataanya tidak akan disukai oleh takdir untuk menjadi [agama dunia], maka, dalam kaitannya dengan moral, hal ini bisa mengarah kepada akhir [melenceng] dari segalanya." [18]
20. Abad sembilan belas memegang teguh iman [dari abad tersebut] atas kemajuan sebagai sebuah bentuk baru harapan manusia, dan [abad tersebut] terus menganggap rasio dan kebebasan sebagai bintang penuntun untuk diikuti pada jalan harapan. Namun, kemajuan yang cepat dan sering atas perkembangan tekhnis dan industrialisasi yang berhubungan dengannya, segera memunculkan sebuah situasi sosial baru: muncul sebuah kelompok pekerja-pekerja industri dan [kelompok] yang disebut "industrial proletariat" ["proletariat" = "kelompok pekerja yang tidak mempunyai alat-alat produksi dan hidup oleh upah"], yang kondisi hidupnya yang mengerikan dideskripsikan oleh Friedrich Engels pada 1845. Bagi pembacanya [ie. Friedrich Engels], kesimpulannya jelas: hal ini [kondisi mengerikan para industrial proletariat] tidak dapat berlanjut; sebuah perubahan diperlukan. Namun perubahan akan mengoncang dan membalik seluruh struktur dari masyarakat borjuis [ie. kaya]. Setelah revolusi borjuis pada 1789, saatnya telah tiba bagi sebuah revolusi proletarian baru: kemajuan tidak bisa sekedar berlanjut dalam langkah-langkah yang kecil dan linear. Sebuah lompatan revolusioner diperlukan. Karl Marx menyambut ajakan itu dan mempergunakan [gaya] bahasa dan intelektualnya yang tajam untuk meluncurkan langkah yang besar dan baru dalam sejarah ini, begitu menurutnya, menuju ke keselamatan—menuju ke apa yang dideskripsikan Kant sebagai "Kerajaan Allah". Setelah kebenaran akan kehidupan setelah mati ditolak, maka akan ada pertanyaan untuk menetapkan kebenaran akan yang sekarang dan yang disini. Kritikan terhadap Surga ditransformasi menjadi kritikan terhadap Bumi, kritikan terhadap teologi kepada politik. Kemajuan kepada dunia yang baru, dunia yang benar-benar baik, tidak lagi datang sekedar dari ilmu pengetahuan, tapi dari politik—dari politik menurut sudut pandang ilmu pengetahuan yang mengenali struktur sejarah dan masyarakat dan karenanya menunjukkan jalan menuju revolusi, menuju semuanya—perubahan menyeluruh. Dengan ketepatan yang tajam, meski dengan bias tertentu, Mark mendeskripsikan situasi di jamannya, dan dengan kemampuan analitis yang baik dia memaparkan jalan menuju revolusi—dan tidak hanya secara teoritis: [tapi secara praktis] melalui Partai Komunis yang terwujudkan dari Communist Manifesto 1848, dia [Marx] memulai pergerakannya [ie. jalan menuju revolusi]. Janjinya, berdasarkan analisanya dan indikasinya yang jelas akan sarana-sarana bagi perubahan radikal, saat itu dan juga sekarang, masih merupakan sumber pesona tak berakhir. Revolusi yang sebenarnya kemudian terjadi, dalam cara yang paling radikal, di Rusia.
21. Namun, bersama dengan kemenangan revolusi, kesalahan mendasar Marx juga semakin terbukti. Dia menunjukkan dengan tepat bagaimana caranya untuk membuang tatanan yang ada, tapi dia tidak mengatakan bagaimana hal-hal berlanjut setelah itu. Dia hanya mengasumsikan bahwa dengan perampasan milik dari kelompok yang berkuasa, dengan jatuhnya kekuasaan politis dan sosialisasi sarana-sarana produksi, Yerusalem baru akan muncul. Lalu semua kontradiksi akan diselesaikan, manusia dan dunia akan kemudian saling mencocokkan. Lalu semuanya akan mampu untuk mulai sendiri pada jalan yang benar, karena semuanya akan menjadi milik semua orang dan semua orang akan menginginkan yang terbaik bagi yang lain. Karenanya, setelah revolusi tercapai, Lenin tentunya sadar bahwa tulisan-tulisan dari gurunya [ie. Marx] tidak memberikan indikasi bagaimana untuk melanjutkan. Memang benar bahwa Marx berbicara mengenai fase peralihan akan kediktatoran kaum proletariat sebagai sesuatu yang perlu, dimana dengan berlalunya waktu [kediktatoran kaum proletariat itu] akan secara otomatis menjadi berlebihan dan tidak diperlukan. Kita paham dengan baik "fase peralihan" ini, dan kita juga tahu bagaimana [fase tersebut] kemudian berkembang, [dengan] tidak membawa sebuah dunia sempurna, tapi meninggalkan jejak kehancuran yang mengejutkan. Marx tidak hanya menghilangkan penyelesaian mengenai bagaimana dunia baru[nya] ini akan diorganisir—yang mestinya, dan tentunya, [peng-organisir-an ini] tidak perlu [menurut teorinya]. Diamnya dia atas hal ini [ie. penyelesaian mengenai bagaimana dunia barunya akan diorganisir] merupakan konsekuensi logis dari pendekatan yang dia pilih. Kesalahannya terletak lebih dalam. Dia melupakan bahwa manusia akan selalu menjadi manusia. Dia melupakan kebebasan manusia. Dia melupakan bahwa kebebasan selalu juga menjadi kebebasan dari kejahatan. Dia berpikir bahwa setelah ekonomi diperbaiki dengan benar, semuanya akan secara otomatis menjadi benar. Kesalahan nyata [Marx] adalah materialisme: manusia, pada kenyataannya, tidak hanya merupakan produk dari kondisi ekonomi, dan tidaklah mungkin untuk menebus si manusia dari luar dengan menciptakan lingkungan ekonomi yang nyaman.
22. Sekali lagi kita mendapatkan diri kita menghadapi pertanyaan: apa yang boleh kita harapkan? Sebuah kritik-diri atas modernitas diperlukan dalam dialog dengan Kekristenan dan konsep [kekristenan tersebut] akan harapan. Di dialog ini umat Kristen juga, dalam konteks pengetahuan dan pengalaman mereka, harus belajar kembali mengenai apa yang benar-benar berada dalam harapan mereka, apa yang bisa mereka tawarkan kepada dunia dan apa yang tidak bisa mereka tawarkan. Mengalir kedalam kritik-diri jaman modern ini juga adalah kritik-diri atas Kekristenan modern, yang harus terus memperbaharui pemahaman-dirinya [ie. Kekristenan] yang berdasar pada akar-akarnya [ie. Kekristenan]. Dalam subyek ini, apa yang bisa kita coba disini adalah beberapa pengamatan singkat. Pertama kita harus menanyakan diri kita sendiri: apa sebenarnya makna "kemajuan"; apa yang dijanjikannya dan apa yang tidak dijanjikannya? Pada abad kesembilanbelas, iman atas kemajuan sudah menjadi sasaran kritik. Pada abad keduapuluh, Theodor W. Adorno merumuskan masalah iman atas kemajuan secara cukup drastis: dia mengatakan bahwa kemajuan, dipandang secara akurat, adalah kemajuan dari ketapel menuju ke bom atom. Nah, ini merupakan sebuah aspek dari kemajuan yang tidak perlu disembunyikan. Dengan kata lain: kekaburan dari kemajuan menjadi jelas. Tanpa ragu, [kemajuan] menawarkan kemungkinan-kemunginan baru untuk kebaikan, tapi [kemajuan] juga membuka kemungkinan yang mengejutkan bagi kejahatan—suatu kemungkinan yang sebelumnya tidak ada. Kita semua telah menyaksikan bagaimana kemajuan, ditangan yang salah, bisa menjadi, dan memang menjadi, sebuah kemajuan yang menakutkan kepada kejahatan. Bila kemajuan tekhnis tidak diiringi oleh kemajuan yang sejajar dalam pembentukan etis manusia, dalam pertumbuhan internal manusia (bdk. Ef 3:16; 2 Kor 4:16), maka itu bukanlah kemajuan sama sekali, tapi ancaman bagi manusia dan bagi dunia.
23. Sejauh dua tema besar tersebut, yaitu "rasio" dan "kebebasan", kita hanya bisa menyentuh atas isu-isu yang berhubungan dengannya. Ya memang, rasio adalah anugerah agung Allah kepada manusia, dan kemenangan rasio atas ketidak-rasio-an juga adalah tujuan dari kehidupan Kristen. Tapi kapan rasio benar-benar berjaya? Kapankah rasio dilepaskan dari Allah? Kapan rasio menjadi buta kepada Allah? Apakah rasio dibalik suatu tindakan dan kapasitas bagi tindakan tersebut merupakan keseluruhan dari rasio? Jika kemajuan, supaya menjadi suatu kemajuan, memerlukan pertumbuhan moral dari sisi manusiawinya, maka rasio dibalik tindakan dan kapasitas bagi tindakan juga perlu integrasi melalui keterbukaan rasio kepada daya penyelamatan iman, kepada pembedaan antara yang baik dan yang jahat. Hanya setelah itulah rasio menjadi benar-benar manusiawi. Rasio menjadi manusiawi hanya jika rasio mampu mengarahkan kehendak kepada jalan yang benar, dan rasio mampu melakukan ini hanya jika rasio melihat melampaui dirinya sendiri. Kalau tidak, [maka] situasi manusia, mengingat ketidakseimbangan antar kapasitas material dan kurangnya penilaian di hatinya, menjadi sebuah ancaman bagi manusia itu sendiri dan ciptaan. Karena itu, ketika kebebasan dipedulikan, kita harus ingat bahwa kebebasan manusia selalu memerlukan penyatuan berbagai jenis kebebasan. Namun penyatuan ini tidak dapat berhasil kecuali penyatuan itu ditentukan oleh sebuah kriteria ukuran intrinsik yang sama, yang adalah pondasi dan tujuan dari kebebasan kita. Marilah kita [katakan] dengan sederhana: manusia memerlukan Allah, kalau tidak manusia akan tetap tanpa harapan. Mengingat perkembangan jaman modern, kutipan dari Santo Paulus yang aku mulai (Ef 2:12) terbukti nyata secara menyeluruh dan benar secara gamblang. Karenanya tidak ada keraguan bahwa sebuah "Kerajaan Alah" yang dicapai tanpa Allah—sebuah kerajaan manusia saja—secara tidak terelakkan berakhir sebagai "akhir yang melenceng" dari segala sesuatu [seperti yang telah] dideskripsikan Kant: kita telah melihatnya, dan kita melihatnya [terjadi] berulang-ulang. Namun tidaklah ada keraguan bahwa Allah benar-benar terlibat kedalam perkara-perkara manusia, bukannya sekedar ada di pikiran kita, hanya jika Dia sendiri datang kepada kita dan berbicara kepada kita. Karenanya, rasio memerlukan iman kalau rasio ingin menjadi lengkap: rasio dan iman memerlukan satu sama lain untuk memenuhi hakikat sejati mereka dan misi sejati mereka.
Bentuk sebenarnya dari harapan Kristen
24. Marilah kita bertanya sekali lagi: apa yang boleh kita harapkan? Dan apa yang tidak boleh kita harapkan? Pertama-tama, kita harus mengakui bahwa kemajuan sedikit-demi sedikit adalah mungkin hanya dalam lingkup material. Disini, ditengah/diantara perkembangan pengetahuan kita akan struktur benda-benda dan dalam terang semakin canggihnya temuan-temuan, kita dengan jelas melihat sebuah kemajuan yang berkelanjutan menuju ke penguasaan alam yang semakin besar. Namun dalam bidang kesadaran etis dan pengambilan keputusan moral, tidak ada kemungkinan yang sama akan [suatu] akumulasi karena satu alasan sederhana bahwa kebebasan manusia adalah selalu baru dan dia harus selalu membuat keputusan dengan baru. Keputusan-keputusan ini tidak pernah dapat dibuat bagi kita di awal-awal oleh orang lain—Kalau itu [bisa dilakukan], kita tidak akan bebas. Kebebasan memprasyaratkan bahwa dalam keputusan-keputusan fundamental, setiap orang dan setiap generasi adalah sebuah permulaan baru. Secara alami, generasi-generasi baru bisa membangun diatas pengetahuan dan pengalaman dari [orang-orang yang terdahulu], dan mereka bisa mengambil dari harta karun moral dari seluruh kemanusian. Tapi mereka juga bisa menolaknya, karena [harta karun moral dari seluruh kemanusiaan tersebut] tidak pernah dapat terbukti dengan sendirinya [ie.self-evident] sebagaimana temuan-temuan materiil. Harta karun moral kemanusiaan tidaklah siap digunakan seperti alat-alat yang kita pakai; [harta karun tersebut] hadir sebagai daya tarik bagi kebebasan dan kemungkinan baginya [ie. kebebasan]. Namun ini berarti bahwa:
a) Status yang benar dari perkara-perkara manusia, kesejahteraan moral dari dunia tidak pernah dapat dijamin sekedar dengan melalui struktur-struktur saja, sebagaimana pun bagusnya [struktur-struktur] tersebut. Struktur-struktur seperti itu tidak hanya penting, tapi perlu; tapi mereka tidak dapat dan tidak seharusnya memarjinalisasi [ie. meminggirkan] kebebasan manusia. Bahkan struktur-struktur terbaik akan berfungsi hanya ketika [suatu komunitas] digerakkan oleh keyakinan yang mampu memotivasi orang-orang untuk patuh dengan bebas pada tatanan sosial. Kebebasan mensyaratkan keyakinan; keyakinan tidak ada dengan sendirinya, tapi harus selalu didapatkan dengan baru oleh komunitas tersebut.
b) Karena manusia selalu tetap bebas dan karena kebebasannya selalu rapuh, kerajaan kebenaran tidak akan pernah didirikan di dunia. Setiap orang yang menjanjikan dunia yang lebih baik yang dijamin akan berakhir tanpa kesudahan, telah membuat janji palsu; dia tidak mempertimbangkan kebebasan manusia. Kebebasan harus secara konstan dimenangkan bagi sebab-sebab kebaikan. Kepatuhan yang bebas kepada kebaikan tidak pernah ada dengan sendirinya. Bila ada struktur-struktur yang dapat secara tak-tergantikan [irrevocably] menjamin sebuah status dunia—yang baik—yang berketetapan, kebebasan manusia akan diingkari, dan karenanya [struktur-struktur] tersebut tidak akan menjadi struktur-struktur yang baik sama sekali.
25. Makna semua ini adalah bahwa semua generasi punya tugas untuk secara baru berhadapan dalam pencarian meletihkan bagi cara yang benar untuk menata perkara-perkara manusia; tugas ini tidak pernah sekedar selesai. Namun tiap generasi harus membuat sumbangsihnya untuk mendirikan struktur-struktur kebebasan dan kebaikan yang meyakinkan, yang dapat membantu generasi berikutnya sebagai suatu petunjuk bagi penggunaan yang patut akan kebebasan manusia; dan karenanya, [dengan] tetap berada dalam batasan manusia, [struktur-struktur kebebasan dan kebaikan yang meyakinkan yang dibuat tiap generasi sebelumnya tersebut] memberikan semacam jaminan juga bagi masa depan. Dengan kata lain: struktur-struktur yang baik memang membantu, tapi hanya itu saja tidaklah cukup. Manusia tidak pernah dapat ditebus sekedar dari luar. Francis Bacon dan mereka yang mengikuti arus intelektual modernitas yang diinspirasikannya adalah salah untuk mempercayai bahwa manusia akan ditebus melalui ilmu pengetahuan. Pengharapan seperti itu menuntut terlalu banyak dari ilmu pengetahuan; harapan seperti ini menipu. Ilmu pengetahuan bisa menyumbang banyak untuk membuat dunia dan umat manusia lebih manusiawi. Namun ilmu pengetahuan juga dapat menghancurkan umat manusia dan dunia kecuali ilmu pengetahuan tersebut dikemudikan oleh kuasa-kuasa yang ada diluarnya. Disisi lain, kita juga harus mengakui bahwa Kekristenan modern, dihadapkan dengan kesuksesan ilmu pengetahuan dalam [upayanya] men-struktur dunia secara progresif telah, sampai jangkauan tertentu, membatasi perhatiannya kepada individu dan keselamatan [individu tersebut]. Dalam melakukan itu [Kekristenan modern] telah membatasi wawasan harapannya dan telah gagal untuk mengenali dengan mencukupi besarnya tugas dari [Kekristenan modern]—bahkan bila [Kekristenan modern] telah mencapai banyak hal besar dalam pembentukan manusia dan perawatan yang lemah dan menderita.
26. Bukan ilmu pengetahuan yang menebus manusia: manusia ditebus oleh cinta. Hal ini juga berlaku di dunia sekarang ini. Ketika seseorang mengalami cinta yang besar dalam hidupnya, ini adalah saat "penebusan" yang memberi arti baru bagi kehidupannya. Tapi segera kemudian dia akan juga menyadari bahwa cinta yang diberikan kepadanya tidak dapat menjawab pertanyaan hidupnya. Sebuah cinta yang tetap rapuh. Sebuah cinta yang bisa dihancurkan oleh kematian. Umat manusia memerlukan cinta tak-bersyarat. Dia memerlukan kepastian yang membuatnya berkata: "tidak kematian, maupun hidup, maupun malaikat-malaikat, maupun kekuasaan-kekuasaan, maupun hal-hal sekarang, maupun hal-hal yang akan datang, maupun kuasa-kuasa, maupun ketinggian, maupun kedalaman, maupun apapun juga dalam semua ciptaan, akan mampu memisahkan kita dari cinta Allah dalam Kristus Yesus Tuhan kita" (Rom 8:38-39). Bila cinta absolut ini ada, dengan kepastiannya yang absolut, maka—hanya dengan begitu—manusia "ditebus", apapun yang harus terjadi padanya dalam keadaan khususnya. Inilah yang dimaksud dengan mengatakan: Yesus Kristus telah "menebus" kita. Melalui Dia kita telah menjadi pasti akan Allah, seorang Allah yang bukanlah "sebab utama" [ie. causa prima] dunia yang [bertahta di tempat yang] jauh, karena Anak tunggal satu-satuNya telah menjadi manusia dan akan Dia setiap orang dapat berkata: maka—"Aku hidup oleh iman dalam Anak Allah, yang mencintaiku dan memberikan diriNya bagiku" (Gal 2:20).
27. Dalam artian ini, adalah benar bahwa setiap orang yang tidak mengenal Allah, meskipun Dia menghiburi [entertain] semua jenis harapan, pada akhirnya [dia menjadi] tanpa harapan, tanpa harapan besar yang menjaga keseluruhan hidup (bdk. Ef 2:12). Harapan besar dan sejati manusia yang tetap teguh alih-alih semua kekecewaan hanya dapat merupakan Allah—Allah yang telah mencintai kita dan yang terus mencintai kita "sampai akhir," sampai semuanya "tercapai" (cf. Yoh 13:1 dan 19:30). Siapapun yang digerakkan oleh cinta [akan] mulai untuk memandang apa itu "hidup" sebenarnya. Dia mulai memandang arti kata harapan yang kita dapati dalam ritus Baptisan: dari iman aku menunggu "kehidupan abadi"—kehidupan sejati, penuh dan tak-terancam dalam semua kepenuhannya, yang sekedar hidup. Yesus, yang berkata bahwa Dia telah datang sehingga kita semua boleh mempunyai hidup dan mempunyainya dalam kepenuhannya, dalam kelimpahannya (bdk. Yoh 10:10), juga telah menjelaskan kepada kita apa makna "hidup": "Inilah kehidupan abadi, bahwa mereka mengenalMu satu-satunya Allah sejati, dan Yesus Kristus yang kau utus" (Yoh 17:3). Hidup dalam artian sebenarnya bukanlah sesuatu yang kita miliki secara eksklusif bagi diri kita sendiri: [hidup dalam artian sebenarnya] adalah sebuah hubungan. Dan hidup dalam totalitasnya adalah sebuah hubungan dengan Dia yang adalah sumber hidup. Bila kita berada dalam hubungan dengan Dia yang tidak bisa mati, yang adalah Hidup itu sendiri dan Cinta itu sendiri, maka kita berada dalam hidup. Maka kita "hidup".
28. Namun sekarang pertanyaan muncul: apakah dengan cara ini kita tidak kembali sekali lagi kepada sebuah pemahaman individualistik akan keselamatan, kepada harapan bagi diriku sendiri, yang bukanlah harapan sejati karena [harapan semacam itu] melupakan dan mengabaikan sesama? Memang tidak! Hubungan kita dengan Allah dibangun melalui persekutuan dengan Yesus—kita tidak dapat mencapainya sendiri atau [mendapatnya dengan bergantung pada] sumberdaya kita sendiri. Namun, hubungan dengan Yesus adalah hubungan dengan Dia yang memberi diriNya bagi tebusan untuk semua (bdk. 1 Tim 2:6). Berada dalam persekutuan dengan Yesus Kristus menarik kita kedalam "ada bagi semuanya" [dari sang Kristus]; [dan persekutuan semacam itu] membuatnya sendiri sebagai cara keberadaan kita. Dia membuat kita bertanggungjawab [committed] untuk hidup bagi sesama, tapi hanya melalui persekutuan dengan Dia [maka] menjadi mungkin untuk benar-benar menjadi ada bagi sesama, bagi keseluruhan. Atas ini aku ingin mengutip Doktor Gereja Yunani yang agung, Maximus Sang Pengaku († 662), yang mulai menganjurkan kita untuk tidak lebih menyukai apapun daripada pengetahuan dan cinta akan Allah, tapi kemudian [setelah menuliskan hal tersebut sang Doktor] dengan cepat melanjutkan ke ke-praktis-an: "Dia yang mencintai Allah tidak dapat memegang uang tapi memberikannya sesuai dengan cara Allah ... dengan cara yang sama yang sesuai dengan ukuran keadilan"[19]. Cinta akan Allah mengarah kepada keikutsertaan dalam keadilan dan kedermawanan Allah kepada sesama. Mencintai Allah memprasyaratkan sebuah kebebasan interior dari semua kepemilikan dan semua barang materi: cinta akan Allah disingkapkan dalam tanggungjawab kepada sesama[20]. Hubungan yang sama antara cinta akan Allah dan tanggungjawab bagi sesama bisa dilihat dalam cara yang menarik perhatian dalam kehidupan Santo Agustinus. Setelah pertobatannya ke iman kristen, dia memutuskan, bersama dengan teman-teman dengan pemikiran yang sama, untuk hidup dengan berdedikasi penuh kepada sabda Allah dan kepada perkara-perkara abadi. Tujuannya adalah mempraktekkan versi Kristen dari kehidupan kontemplatif ideal yang diekspresikan dalam tradisi agung filosofis Yunani, dengan begini dia "memilih bagian yang terbaik" (bdk. Luk 10:42). Namun persoalannya menjadi berubah. Ketika menghadiri liturgi Minggu di kota pelabuhan Hippo, dia dipanggil diantara para jemaat oleh Uskup dan terpaksa menerima tahbisan untuk tugas pelayanan imam [ie. sebagai romo] di kota itu. Melihat kembali peristiwa tersebut, Santo Agustinus menulis dalam [bukunya] Confession: "Takut oleh dosa-dosaku dan beban kegundahanku, aku telah memutuskan dalam hatiku, dan memikirkan untuk pergi ke belantara; tapi Engkau melarangku dan memberiku kekuatan, dengan berkata: 'Kristus mati bagi semua orang, sehingga mereka yang hidup boleh hidup tidak lagi bagi diri mereka sendiri tapi bagi Dia yang bagi diri mereka tersebut telah mati' (bdk. 2 Cor 5:15)"[21]. Kristus mati untuk semua orang. Untuk hidup bagiNya berarti membiarkan diri kita ditarik kedalam ada bagi semuanya [dari sang Kristus].
29. Bagi Agustinus ini berarti sebuah kehidupan baru yang total. Suatu ketika dia mendeskripsikan kehidupan sehari-harinya dalam ucapan berikut: Goncangan harus dibenarkan, yang berhati lemah di hibur, yang lemah didukung; lawan-lawan injil perlu di sanggah, [injil] perlu dijaga dari musuh-musuh dalam selimut; yang tak berpendidikan perlu diajar, yang malas digerakkan, yang argumentatif di tanggapi; yang bangga harus diletakkan pada tempat mereka [yang patut], yang putus asa dibangkitkan, mereka yang cekcok diperdamaikan; yang membutuhkan perlu dibantu, yang terjajah dimerdekakan, yang baik didukung, yang jahat ditoleransi; semua harus dikasihi"[22]. "Injil menakutkan aku"[23]—[injil menimbulkan] ketakutan yang sehat yang mencegah kita dari hidup bagi diri kita sendiri dan mendorong kita untuk meneruskan harapan yang kita pegang bersama. Ditengah kesulitan-kesulitan serius yang dihadapi Imperium roma—dan juga menghadapi ancaman serius kepada Roma Afrika, yang dihancurkan pada akhir kehidupan Agustinus—ini adalah apa yang dia tetapkan utuk dilakukan: untuk meneruskan harapan [kepada orang-orang], harapan yang datang kepadanya dari iman dan yang, bertentangan dengan temperamennya yang introvert, memampukan [Santo Agustinus] untuk mengambil peran yang menentukan, dan dengan semua kekuatannya, dalam upaya untuk membangun kota tersebut [ie. Hippo, Afrika]. Di bagian yang sama dari [buku] Confession, dimana kita melihat komitmen [Santo Agustinus] atas "bagi semua", dia berkata bahwa Kristus "mewakili bagi kita, kalau tidak aku akan putus asa. Kelemahanku banyak dan besar, sungguh memang banyak dan besar, tapi lebih berkelimpahan lagi obatMu. Kita mungkin berpikir bahwa sabdaMu berjarak jauh dari persatuan dengan manusia, dan karenanya kita menjadi putus asa sendiri, jika sang Sabda ini tidak menjadi daging dan tinggal diantara kita"[24]. Atas kekuatan harapannya, Agustinus mendedikasikan dirinya dengan total kepada orang-orang biasa dan kepada kotanya—mengingkari kebangsawanan spiritualnya, dia berkhotbah dan bertindak dengan cara yang sederhana bagi orang yang sederhana.
30. Mari kita meringkas apa yang telah muncul sejauh ini dalam refleksi kita. Hari demi hari manusia mengalami banyak harapan-harapan yang lebih besar dan lebih kecil, berbeda jenisnya menurut periode yang berbeda dalam hidupnya. Kadang-kadang salah satu dari harapan-harapan tersebut mungkin nampak secara total memuaskan tanpa perlu harapan-harapan lain. Orang muda dapat mempunyai harapan akan cinta yang besar dan benar-benar memuaskan; harapan akan suatu posisi dalam profesi mereka, atau suatu sukses yang akan terbukti menentukan bagi kehidupan mereka selanjutnya. Namun ketika harapan-harapan ini dipenuhi akanlah jelas bahwa [harapan-harapan] tersebut, pada nyatanya, bukanlah keseluruhan. Menjadi terbukti bahwa manusia mempunyai rasa perlu akan sebuah harapan yang melampaui. Menjadi jelas bahwa hanya sesuatu tak-terbatas akan mencukupi [sang manusia], sesuatu yang akan selalu lebih dari apa yang dia akan pernah dapat. Dalam hal ini, jaman kontemporer kita telah mengembangkan harapan [untuk] menciptakan suatu dunia yang sempurna, berkat ilmu pengetahuan dan politik berlandaskan ilmu pengetahuan, yang tampaknya bisa dicapai. Karenanya harapan Biblis akan Kerajaan Allah telah digantikan oleh harapan dalam kerajaan manusia, harapan untuk sebuah dunia yang lebih baik yang akan menjadi "Kerajaan Allah" yang sejati. Ini semua tampak pada akhirnya sebagai suatu harapan besar dan realistik yang diperlukan manusia. [Harapan tersebut] mampu menggerakkan—untuk satu waktu—semua energi manusia. Tujuan agung tersebut kelihatannya layak [mendapatkan] komitmen penuh. Namun dengan berjalannya waktu telah menjadi jelas bahwa harapan ini secara konstan menurun. Diatas segalanya, telah menjadi nampak bahwa [harapan tersebut] mungkin adalah harapan bagi generasi mendatang, tapi bukan buatku.
Dan sebanyak apapun "bagi semuanya" bisa menjadi bagian dari sebuah harapan besar—karena aku tidak bisa gembira tanpa yang lain atau dalam pertentangan dengan yang lain—akan tetap benar bahwa sebuah harapan yang tidak mempedulikan aku pribadi bukanlah harapan sejati. Juga menjadi jelas bahwa harapan ini bertentangan dengan kebebasan, karena perkara-perkara manusia di setiap generasi bergantung kepada keputusan bebas dari mereka yang berkepentingan. Kalau kebebasan ini diambil, sebagai akibat dari kondisi-kondisi atau struktur-struktur tertentu, maka pada akhirnya dunia tidak akan menjadi baik, karena sebuah dunia tanpa kebebasan tidak dapat merupakan sebuah dunia yang baik. Karenanya, sementara kita harus selalu berkomitmen kepada perbaikan dunia, dunia yang lebih baik besok harinya tidak dapat menjadi kandungan harapan kita yang patut dan mencukupi. Dan dalam kaitan dengan ini pertanyaan selalu muncul: kapan dunia menjadi "lebih baik"? Apa yang membuat [dunia itu] baik? Atas standard apa kita menilai kebaikannya? Apa jalan yang mengarah kepada "kebaikan" ini?
31. Marilah kita katakan sekali lagi: kita memerlukan harapan-harapan yang lebih besar dan lebih kecil yang menggerakkan kita hari demi hari. Tapi ini tidaklah cukup tanpa harapan besar/agung tersebut, yang harus melampaui segalanya. Harapan besar/agung ini hanya bisa merupakan Allah, yang meliputi keseluruhan realitas dan yang dapat menganugerahkan kita apa yang kita sendiri tidak dapat peroleh. Fakta bahwa [harapan besar/agung tersebut] datang kepada kita sebagai suatu anugerah sebenarnya merupakan bagian dari harapan. Allah adalah pondasi dari harapan: bukan sembarang allah, tapi Allah yang mempunyai wajah manusia dan yang mencintai kita sampai kesudahannya, setiap diri kita dan kemanusiaan dalam keseluruhannya. KerajaanNya bukanlah sebuah khayalan saat mendatang, yang terletak di sebuah masa depan yang tidak akan pernah tiba; KerajaanNya hadir dimanapun Dia dicintai dan dimanapun cintaNya mencapai kita. CintaNya saja memberi kepada kita kemungkinan untuk dengan terjaga bertahan hari demi hari, tanpa berhenti didorong oleh harapan, di dunia yang pada hakikatnya tidak sempurna. CintaNya pada saat yang sama adalah jaminan kita akan keberadaan dari apa yang hanya bisa kita rasakan dengan gamang dan yang, dalam diri kita terdalam, bagaimanapun kita nantikan: sebuah kehidupan yang "benar-benar" hidup. Marilah kita sekarang di bagian final mengembangkan gagasan ini secara lebih detail saat kita memfokuskan perhatian kita pada beberapa "pengaturan" ["settings"] dimana kita bisa mempelajari dalam praktek mengenai harapan dan pelaksanaannya.
"Pengaturan" bagi mempelajari dan mempraktekkan harapan
I. Doa sebagai sebuah kumpulan harapan
32. Sebuah pengaturan inti bagi mempelajari harapan adalah doa. Ketika tidak ada seorang pun yang mendengarkan aku lagi, Allah masih mendengarkan aku. Ketika aku tidak dapat lagi berbicara kepada siapapun atau memanggil siapapun, aku selalu dapat berbicara kepada Allah. Ketika tidak ada lagi seorangpun yang membantuku menghadapi sebuah keperluan atau pengharapan yang melampaui kapasitas manusia bagi harapan, Dia dapat membantuku[25]. Ketika aku terjerumus ke kesendirian total ...: bila aku berdoa aku tidak pernah sendiri. Almarhum Cardinal Nguyen Van Thuan, seorang narapidana selama 13 tahun, [dimana] sembilan tahun darinya dihabiskan dalam kurungan soliter [ie. dikurung sendiri jauh dari yang lain], telah meninggalkan pada kita sebuah buku kecil yang berharga: Doa-doa Harapan. selama tiga tahun dalam penjara, dalam sebuah situasi yang sepertinya tidak ada harapan, fakta bahwa dia dapat mendengar dan berbicara kepada Allah menjadi baginya sebuah kekuatan harapan yang terus bertambah, yang setelah pembebasanya memampukan dia untuk menjadi seorang saksi akan harapan bagi seluruh orang di dunia—[seorang saksi] akan suatu harapan besar yang tidak bergeming bahkan di malam-malam kesendirian.
33. Santo Agustinus, dalam sebuah homili atas Surat Pertama Yohanes, mendeskripsikan dengan indah hubungan yang intim antara doa dan harapan. Dia mendefinisikan doa sebagai sebuah latihan keinginan. Manusia diciptakan untuk kebesaran/keagungan—bagi Allah sendiri; dia diciptakan untuk dipenuhi oleh Allah. Tapi hatinya terlalu kecil untuk kebesaran/keagungan yang adalah takdir [sang hati]. Hati tersebut harus direntangkan. "Dengan menunda [anugerahNya], Allah menguatkan keinginan kita; melalui keinginan, Dia memperbesar jiwa kita dan dengan melebarkannya Dia memperbesar kapasitasnya [untuk menerimaNya]". Agustinus mengacu ke Santo Paulus, yang berbicara akan dirinya sendiri bagai mengarahkan diri kepada hal-hal yang akan datang (bdk. Fil 3:13). Dia kemudian menggunakan sebuah gambaran yang sangat indah untuk mendeskripsikan proses pembesaran dan penyiapan hati manusia ini. "Umpamanya Allah berkeinginan untuk memenuhimu dengan madu [sebuah simbol kelembutan dan kebaikan Allah]; tapi bila engkau penuh dengan cuka, dimanakah engkau akan menaruh madunya?" Bejananya, yaitu hatimu, harus pertama-tama diperbesar dan kemudian di bersihkan, dibebaskan dari cuka dan rasanya. Ini memerlukan kerja keras dan menyakitkan, tapi hanya dengan cara ini kita menjadi cocok kepada apa yang ditakdirkan [destined]bagi kita[26]. Bahkan kalaupun Agustinus berbicara langsung hanya mengenai kapasitas kita bagi Allah, telah jelas bahwa melalui upaya ini kita dibebaskan dari cuka dan rasa cuka tersebut, tidak hanya kita dibuat bebas bagi Allah, tapi kita juga menjadi terbuka bagi yang lain. Hanya dengan menjadi anak-anak Allah kita bisa bersama dengan Bapa kita semua. Berdoa bukanlah melangkah keluar dari sejarah dan menarik [diri] ke pojok kebahagiaan pribadi kita sendiri. Ketika berdoa dengan tepat kita melalui sebuah proses pembersihan mendalam yang membuka diri kita kepada Allah dan karenanya kepada sesama kita manusia juga. Dalam doa kita harus belajar apa yang bisa benar-benar kita minta dari Allah—apa yang layak atas Allah. Kita harus belajar bahwa kita tidak bisa berdoa melawan yang lain. Kita harus belajar bahwa kita tidak dapat meminta hal-hal yang dangkal dan menyamankan yang kita inginkan saat ini—harapan yang kecil dan salah tempat yang menuntun kita jauh dari Allah. Kita harus belajar untuk memurnikan keinginan kita dan harapan kita. Kita harus membebaskan diri kita dari kebohongan-kebohongan tersembunyi yang dengannya kita menipu diri kita sendiri. Allah melihat menembus hal-hal seperti itu, dan ketika kita datang kehadapan Allah, kita juga dipaksa untuk mengenali [hal-hal tersebut]. "Tapi siapa yang dapat mengetahui kesalahan-kesalahannya? Bersihkan aku dari kesalahan tersembunyi" doa sang pe-mazmur (Mzm 19:12 [18:13]). Kegagalan untuk mengenali kesalahan-kesalahanku [dan terbutakan oleh] ilusi ketidakberdosaanku, tidak membenarkan aku dan tidak menyelamatkanku, karena aku bersalah [culpable] atas kebekuan suara hatiku dan [atas] ketidakmampuanku [incapacity] untuk mengenali kejahatan didalam aku seperti apa adanya. Jika Allah tidak ada, mungkin aku harus mencari perlindungan dalam kebohongan-kebohongan ini, karena tidak ada seorangpun yang dapat mengampuniku; tidak ada seorangpun yang adalah [sang] standard sejati [atas mana yang benar dan mana yang salah]. Namun perjumpaanku dengan Allah membangunkan suara hatiku sedemikian sehingga [suara hatiku] tidak lagi menuju [ke sebuah] pembenaran-diri, dan tidak lagi [suara hatiku] merupakan sekedar refleksi akan diriku dan orang-orang jamanku yang membentuk pemikiranku, namun [suara hatiku] menjadi sebuah kapasitas untuk mendengar sang Kebaikan itu sendiri.
34. Supaya doa mengembangkan kekuatan pemurnian ini, [maka doa] harus pada satu sisi merupakan sesuatu yang sangat pribadi, sebuah perjumpaan antara diri intimku sendiri dengan Allah, Allah yang hidup. Disisi lain [doa] harus terus dituntun da dicerahkan oleh doa-doa agung Gereja dan para kudus, oleh doa liturgis. Cardinal Nguyen Van thuan, dalam buku latihan spiritualnya, mengatakan kepada kita bahwa selama kehidupannya ada periode waktu yang lama dimana dia tidak mampu berdoa dan dia akan berpegang erat kepada teks-teks doa Gereja [dalam berdoa]: Bapa Kami, Salam Maria, dan doa-doa liturgis[27]. Berdoa harus selalu melibatkan percampuran doa umum dan pribadi. Beginilah bagaimana kita dapat berbicara kepada Allah dan bagaimana Allah berbicara kepada kita. Dengan cara ini kita melalui pemurnian-pemurnian yang olehnya kita menjadi terbuka kepada Allah dan dipersiapkan bagi pelayanan akan sesama kita manusia. Kita menjadi mampu atas harapan besar/agung tersebut, dan karenanya kita menjadi pelayan harapan bagi yang lain. Harapan dalam artian kristen adalah selalu harapan bagi sesama yang lain juga. [Harapan tersebut] adalah harapan aktif, dimana kita berjuang untuk mencegah hal-hal bergerak menuju "akhir yang melenceng". [Harapan tersebut] adalah sebuah harapan aktif juga dalam artian bahwa kita menjaga dunia [supaya tetap] terbuka kepada Allah. Hanya dengan cara ini [harapan tersebut] terus menjadi sebuah harapan yang benar-benar manusia.
II. Tindakan dan penderitaan sebagai pengaturan bagi mempelajari harapan
35. Semua perilaku manusia yang serius dan benar adalah harapan yang sedang beraksi. Ini memang demikian pertama-tama dalam artian bahwa kita berusaha untuk merealisasi harapan-harapan kecil dan besar kita, untuk melengkapi tugas ini atau itu yang penting bagi perjalanan kedepan kita, atau kita berusaha menuju sebuah dunia yang lebih terang dan manusiawi sehingga membuka pintu bagai masa depan. Namun upaya tiap hari kita dalam mengejar kehidupan kita dan dalam berusaha untuk masa depan dunia, melelahkan kita, ataupun berubah menjadi fanatisme, kecuali kita diterangi oleh sinar terang harapan agung yang tidak dapat dihancurkan bahkan oleh kegagalan-kegagalan berskala kecil atau oleh runtuhnya perkara-perkara sejarah yang penting. Kalau kita tidak dapat berharap lebih dari yang dapat dicapai secara efektif pada satu waktu tertentu, atau lebih dari yang dijanjikan oleh otoritas ekonomi atau politis, kehidupan kita akan segera menjadi tanpa harapan. Adalah penting untuk tahu bahwa aku selalu dapat terus berharap, bahkan kalau dalam hidupku sendiri, atau dalam periode sejarah saat aku hidup, tampaknya tidak ada apapun untuk diharapkan. Hanya sebuah kepastian besar akan harapan bahwa hidupku sendiri dan sejarah secara umum, alih-alih semua kegagalan, dipegang teguh oleh kekuatan Cinta yang tak terhancurkan, dan ini memberi [kehidupanku sendiri dan sejarah secara umum] makna dan kepentingan, hanya harapan seperti ini yang memberi keberanian untuk bertindak dan tahan uji. [Catatan DeusVult: kalimat panjang dan penuh anak kalimat dan ruwet ini pada dasarnya kalimat utamanya adalah sebagai berikut, "Hanya sebuah kepastian besar akan harapan bahwa hidupku sendiri dan sejarah secara umum dipegang teguh oleh kekuatan Cinta yang tak terhancurkan, yang memberi keberanian untuk bertindak dan tahan uji"]. Tentu saja kita tidak dapat "membangun" Kerajaan Allah dengan upaya-upaya kita sendiri—apa yang kita bangun akan selalu adalah kerajaan manusia dengan semua keterbatasan yang patut bagi kodrat manusiawi kita. Kerajaan Allah adalah karunia, dan justru karena ini, [Kerajaan Allah] itu agung dan indah, dan [Kerajaan tersebut] merupakan tanggapan atas harapan kita. Dan kita tidak dapat—dengan memakai istilah klasik—"merit" Surga melalui perbuatan kita [Catatan DeusVult: "merit" kira-kira terjemahannya adalah "jasa". Jadi maksudnya disini Kerajaan Alalh itu adalah sebuah karunia bukan sesuatu yang kita dapatkan karena kita telah berjasa sebab kita melakukan perbuatan tertentu. Surga tidak dapat di-"jasa"-i]. Surga adalah selalu sesuatu yang melampaui apa yang bisa kita jasa-i, sebagaimana dicintai tidak pernah merupakan sesuatu yang bisa diperoleh dengan "berjasa", tapi [dicintai] selalu adalah karunia. Namun, bahkan ketika kita benar-benar sadar bahwa Surga melampaui apa yang bisa kita jasa-i, akan selalu benar bahwa perilaku kita tidaklah tak-ada-bedanya dihadapan Allah dan karenanya tidak tak-ada-bedanya bagi berlangsungnya sejarah. Kita bisa membuka diri sendiri dan dunia dan membiarkan Allah masuk: kita dapat membuka diri sendiri kepada kebenaran, kepada cinta, kepada apa yang baik. Ini adalah apa yang dilakukan para kudus, mereka yang, sebagai "kawan sekerja Allah", menyumbang kepada kesalamatan dunia (bdk. 1 Kor 3:9; 1 Tes 3:2). Kita dapat membebaskan hidup kita dan dunia dari racun-racun dan pencemaran-pencemaran yang dapat menghancurkan masa kini dan masa depan. Kita dapat menyingkap sumber-sumber penciptaan dan menjaganya agar tidak ternoda, dan dengan cara ini kita bisa menggunakan dengan benar ciptaan, yang datang pada kita sebagai suatu karunia, menurut persyaratan intrinsik dan tujuan akhir [dari ciptaan tersebut]. Ini masuk akal bahkan kalau dari luaran kita tidak mencapai apapun atau kelihatan tidak berdaya dihadapan kekuatan-kekuatan ganas. Jadi di satu sisi, tindakan-tindakan kita menyebabkan timbulnya harapan bagi kita dan bagi yang lain: tapi pada saat yang sama, adalah harapan agung yang didasarkan pada janji Allah yang memberi kita keberanian dan mengarahkan tindakan kita dalam masa-masa baik dan buruk.
36. Seperti tindakan, penderitaan adalah sebuah bagian dari keberadaan kita manusia. Penderitaan bersumber sebagian dari diri kita yang terbatas, dan sebagian dari banyaknya dosa yang telah terakumulasi sepanjang sejarah, dan terus bertumbuh tak-terkurangkan hari ini. Tentunya kita harus melakukan apa yang kita dapat untuk mengurangi penderitaan: untuk menghindari sejauh mungkin penderitaan orang tak bersalah; untuk meringankan rasa sakit; untuk memberi bantuan dalam mengatasi penderitan mental. Ini adalah kewajiban-kewajiban baik dalam keadilan maupun dalam cinta, dan hal-hal tersebut termasuk diantara prasyarat fundamental bagi kehidupan Kristen dan setiap kehidupan manusia sesungguhnya. Kemajuan besar telah dibuat dalam pertempuran melawan sakit fisik; namun penderitaan-penderitaan para orang tak bersalah dan penderitaan mental telah bertambah dalam dekade-dekade terakhir. Memang, kita harus melakukan apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi penderitaan, tapi untuk menghilangkannya dari dunia ini secara keseluruhan adalah diluar kekuatan kita. Ini dikarenakan kita tidak dapat menghilangkan keterbatasan (finitude) kita dan karena tidak seorangpun dari kita mampu untuk menghilangkan kekuatan kejahatan, [juga kekuatan] dosa yang, seperti kita lihat dengan gamblang, adalah sebuah sumber konstan dari penderitaan. Hanya Alah yang mampu melakukan ini: hanya seorang Allah yang secara pribadi masuk kedalam sejarah dengan membuat diriNya sendiri seorang manusia dan menderita dalam sejarah. Kita tahu Allah ini ada, dan karenanya kekuatan untuk "menghapus dosa dunia" (Yoh 1:29) tersebut ada di dunia. Melalui iman dalam keberadaan kekuatan ini, harapan bagi penyembuhan dunia telah muncul dalam sejarah. Namun ini adalah harapan—belum merupakan pemenuhan: harapan yang memberi kita keberanian untuk menempatkan diri kita disisi kebaikan bahkan dalam situasi yang tampaknya tidak ada harapan [ketika kita sadar bahwa] mengingat jalur sejarah eksternal [yang telah terjadi, tampaknya] kekuatan dosa akan terus ada dengan mengerikan.
37. Mari kita kembali ke topik kita. Kita dapat mencoba untuk membatasi penderitaan, untuk melawannya, tapi kita tidak dapat menghilangkannya. Adalah ketika kita berusaha untuk menghindari penderitaan dengan menarik diri dari semua hal yang mungkin menyakitkan, ketika kita mencoba untuk mengelak dari upaya dan kesakitan dalam mengejar kebenaran, cinta dan kebaikan, [maka] kita mengambang kedalam kehidupan yang kosong, yang mana mungkin tidak ada kesakitan, tapi sensasi gelap dari ketidakbermaknaan dan pengucilan [justru] lebih besar. Bukanlah dengan menghindari atau menyingkir dari penderitaan kita bisa disembuhkan, tapi [kita bisa disembuhkan] oleh kapasitas kita untuk menerima penderitaan, menjadi dewasa melaluinya dan menemukan makna[nya] melalui kesatuan dengan Kristus, yang menderita dengan cinta yang tak terbatas. Dalam konteks ini, aku ingin mengutip perkataan dari martir Vietnam Paul Le-Bao-Tinh († 1857) yang mengilustrasikan transformasi penderitaan melalui kekuatan harapan yang bersumber dari iman. "Aku, Paul, dirantai bagi nama Kristus, ingin memberitahukan kepadamu percobaan yang setiap hari menggangguku, supaya engkau dibakar dengan cinta bagi Allah dan bergabung bersamaku dalam memujiNya, karena kerahimanNya adalah selamanya (Mzm 136 [135]). Penjara disini benar-benar merupakan gambaran dari Neraka abadi: dari siksaan kejam dengan berbagai bentuk—borgol, rantai besi, manacles [rantai yang menghubungkan satu borgol ke borgol yang lain]—ditambahkan kepadanya kebencian, dendam, fitnah, kata-kata kotor, perselisihan, tindakan jahat, sumpah serapah, kutukan, dan juga keterpurukan dan kesedihan mendalam. Tapi Allah, yang pada suatu kali telah membebaskan tiga anak dari tungku berapi, selalu ada bersamaku; Dia telah membebaskan aku dari pergolakan in dan membuatnya manis, karena kerahimanNya adalah selamanya. Ditengah-tengah siksaan-siksaan ini, yang biasanya membuat ngeri yang lain, aku, oleh rahmat Allah, penuh kegembiraan dan kesenangan, karena aku tidak sendiri—Kristus bersamaku ... Bagaimana aku tahan menghadapi pemandangan [tersebut], karena setiap hari aku melihat kaisar-kaisar, pejabat-pejabat tinggi dan ajudan mereka menghujat namaMu, Oh Tuhan, yang bertahta diatas Kerubim dan Serafim? (bdk. Mzm 80:1 [79:2]). Lihatlah, para kafir telah menginjak-injak SalibMu! Dimanakah kemulianMu? Ketika aku melihat semua ini, aku akan, dalam cinta menggebu yang aku miliki bagiMu, lebih suka bagian tubuhku dicabik-cabik dan mati sebagai saksi cintamu. Oh Tuhan, tunjukkanlah kekuatanmu, selamatkanlah aku, peliharalah aku, sehingga dalam kelemahan mentalku kekuatanmu bisa tertunjukkan dan bisa dimuliakan dihadapan seluruh bangsa ... Saudara-saudara tercinta, ketika kalian mendengarkan semua ini biarlah kalian memberikan terima kasih tak terhingga dalam kegembiraan kepada Allah, yang dariNya semua kebaikan berasal; diberkatilah Allah yang ada padaku, karena kerahimanNya adalah selamanya ... aku menuliskan hal-hal ini kepadamu supaya imanmu dan [iman]ku dipersatukan. Ditengah-tengah badai-guntur aku melemparkan jangkarku kepada tahta Allah, jangkar yang adalah harapan hidup hatiku." [28] Ini adalah sebuah surat dari "Neraka". [Surat tersebut] mengandung semua kengerian dari sebuah concentration camp, dimana atas penyiksaan-penyiksaan yang diberikan para tiran kepada korban-korban mereka ditambahi oleh maraknya kejahatan dalam korban-korban itu sendiri, sehingga [kejahatan yang timbul dari para korban itu sendiri] menjadi sarana untuk semakin [meningkatkan] kekejaman sang penganiaya. Ini benar-benar surat dari Neraka, tapi [surat ini] juga menyingkapkan kebenaran dari teks Mazmur: "Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana; jika aku tenggelam di dunia orang mati, Engkau ada disana ... Jika aku berkata, 'Biarlah kegelapan saja melingkupi aku, dan terang sekelilingku menjadi malam'—karena bagiMu kegelapan itu sendiri tidaklah gelap, dan malam bersinar seperti siang hari, kegelapan dan terang adalah sama" (Mzm 139 [138]:8-12; bdk. Juga Mzm 23 [22]:4). Kristus turun ke "Neraka" dan karenanya [Dia] dekat dengan mereka yang dilemparkan kesana, mengubah kegelapan mereka menjadi terang. Penderitaan dan penyiksaan memang masih mengerikan dan hampir tak tertahankan. Namun bintang harapan telah bangkit—jangkar hati [manusia] menjangkau tahta Allah. Alih-alih kejahatan dilepaskan dalam diri manusia, sang cahaya bersinar penuh kemenangan: penderitaan—tanpa berhenti menjadi penderitaan—menjadi, alih-alih apapun juga, sebuah hymne pujian.
38. Ukuran sejati dari kemanusiaan secara esensial ditentukan dalam hubungan pada penderitaan dan kepada orang yang menderita. Ini memang benar baik bagi individu maupun masyarakat. Sebuah masyarakat yang tidak mampu menerima anggotanya yang menderita dan tidak dapat membantu untuk berbagi dalam penderitaan mereka dan untuk menanggungnya dari dalam melalui "com-passion" adalah sebuah masyarakat yang kejam dan tidak berprikemanusiaan. Namun masyarakat tidak dapat menerima anggotanya yang menderita dan mendukung mereka dalam pencobaan mereka kecuali individu-individu dapat melakukannya sendiri; terlebih, individu tidak dapat menerima penderitaan yang lain kecuali dia secara pribadi mampu menemukan makna dalam penderitaan, [dimana makna itu adalah] sebuah jalan penyucian dan pertumbuhan dalam kedewasaan, sebuah perjalanan harapan. Memang, untuk menerima "sesama" yang menderita, berarti bahwa aku mengambil penderitaannya sedemikian rupa sehingga [penderitaan itu] menjadi milikku juga. Karena [penderitaan tersebut] sekarang telah menjadi penderitaan bersama, meskipun, dimana orang lain itu hadir, penderitaan ini ditembus oleh terang cinta. Kata latin con-solatio, "penghiburan [consolation]", mengekspresikan hal tersebut dengan indah. [Kata tersebut] menunjukkan bersama dengan yang lain dalam kesendiriannya, sehingga [kesendirian] itu berhenti menjadi kesendirian. Terlebih, kapasitas untuk menerima penderitaan bagi kebaikan, kebenaran dan keadilan adalah kriteria esensial bagi kemanusiaan, karena kalau kesejahteraanku dan keselamatanku sendiri lebih penting dari kebenaran dan keadilan, maka kekuatan dari yang lebih kuat akan jaya, sehingga kekerasan dan ketidakbenaran akan berdaulat. Kebenaran dan keadilan harus berdiri diatas kenyamananku dan kesejahteraan fisik-ku, kalau tidak kehidupanku sendiri menjadi sebuah kebohongan. Pada akhirnya, bahkan [jawaban] "ya" kepada cinta adalah sumber dari pnderitaan, karena cinta selalu memerlukan penghilangan ke-"aku"-anku sendiri, dimana aku membiarkan diriku diperkecil dan disakiti. Cinta tidak dapat ada tanpa penolakan terhadap diriku sendiri yang menyakitkan ini, karena kalau tidak [cinta] akan menjadi ke-egois-an murni dan karenanya berhenti menjadi cinta.
39. Untuk menderita dengan yang lain dan bagi yang lain; untuk menderita bagi kebenaran dan keadilan; untuk menderita karena cinta dan supaya menjadi seorang pribadi yang benar-benar mencinta—ini adalah unsur-unsur fundamental dalam kemanusiaan, dan untuk meninggalkan [unsur-unsur fundamental tersebut] berarti menghancurkan manusia itu sendiri. Namun sekali lagi pertanyaan muncul: apakah kita mampu melakukan ini? Apakah yang lain [ie. sesama] cukup penting untuk membuatku menjadi orang yang menderita baginya? Apakah kebenaran cukup perlu bagiku untuk membuat penderitaan ada harganya? Apakah janji cinta begitu besar sehingga janji tersebut membenarkan karunia diriku sendiri? Dalam sejarah kemanusiaan, adalah iman Kristen yang mempunyai jasa tertentu dalam menunjukkan dalam diri manusia sebuah kapasitas yang baru dan mendalam bagi penderitaan seperti ini yang menentukan bagi kemanusiaannya. Iman Kristen telah menunjukkan bagi kita bahwa kebenaran, keadilan dan cinta bukanlah sekedar ideal-ideal, tapi sebuah kenyataan yang berat dan besar. [Iman Kristen] telah menunjukkan kepada kita bahwa Allah—sang Kebenaran dan sang Cinta dalam kepribadian—ingin untuk menderita bersama kita dan dengan kita. Bernard dari Clairvaux menciptakan ungkapan luar biasa: Impassibilis est Deus, sed non incompassibilis [29]—Allah tidak dapat menderita, tapi Dia bisa menderita dengan. Manusia begitu berharga bagi Allah sehingga Dia sendiri menjadi manusia dan menderita dengan manusia dalam cara yang nyata—dalam daging dan darah—sebagaimana diwahyukan kepada kita dalam kisah sengsara Kristus. Karenanya dalam semua penderitaan manusia kita disatukan dengan seorang yang mengalami dan membawa penderitaan itu bersama kita; karenanya con-solatio hadir dalam semua penderitaan, penghiburan dari cinta Allah yang penuh pengasihan—dan karenanya bintang harapan muncul. Tentu saja, dalam banyak penderitaan dan pencobaan kita yang berbeda kita selalu memerlukan harapan-harapan yang besar ataupun kecil—jengukan yang baik, penyembuhan luka eksternal dan internal, resolusi yang disukai dari suatu krisis, dan seterusnya. Dalam pencobaan-pencobaan kecil kita harapan-harapan ini mungkin cukup. Tapi dalam pencobaan yang benar-benar besar, ketika aku harus membuat suatu keputusan definitif untuk menempatkan kebenaran sebelum kesejahteraanku sendiri, sebelum karirku sendiri, dan sebelum profesiku sendiri, aku memerlukan kepastian harapan yang benar dan besar itu yang mana telah aku [ie. Paus Benediktus XVI] bicarakan disini. Juga bagi hal ini kita perlu saksi-saksi—para martir—yang telah memberikan diri mereka sendiri dengan total, untuk menunjukkan kita jalannya—hari demi hari. Kita memerlukan [kesaksian para martir] kalau kita [berusaha untuk] lebih menyukai kebaikan daripada kenyamanan, bahkan dalam hal-hal kecil yang kita hadapi tiap hari—dengan mengetahui bahwa inilah bagaimana kita menghidupi kehidupan kita secara penuh. Mari kita berkata sekali lagi; kapasitas untuk menderita bagi kebenaran adalah ukuran bagi kemanusiaan. Namun kapasitas untuk menderita ini bergantung pada tipe dan sejauh mana harapan yang kita kandung dan bangun dalam diri kita. Para kudus telah mampu melakukan perjalanan besar [di jalur] eksistensi kemanusiaan dalam cara yang telah dilakukan Kristus sebelumnya, karena mereka penuh dengan harapan besar.
40. Aku juga ingin menambahkan disini satu komentar singkat [yang memiliki] sedikit relevansi dengan kehidupan sehari-hari. Dulu ada satu bentuk devosi—mungkin jarang dipraktekkan saat ini tapi cukup terkenal dahulu—yang berkaitan dengan gagasan "mempersembahkan" kesukaran-kesukaran sehari-hari yang terus menerus menyerang kita bagai "pukulan-pukulan" yang menyebalkan, sehingga [dengan mempersembahkan hal-hal menyebalkan tersebut maka hal-hal menyebalkan itu lebih] mempunyai makna. Memang, ada beberapa pelebih-lebihan dan mungkin aplikasi yang kurang sehat atas devosi ini, tapi kita perlu bertanya pada diri kita sendiri apakah mungkin ada beberapa hal esensial dan berguna yang terkandung didalam [praktek mempersembahkan kesukaran hidup sehari-hari tersebut]. Apa yang dimaksud mempersembahkan sesuatu? Mereka yang melakukannya yakin bahwa mereka bisa memasukkan gangguan-gangguan kecil kedalam "com-passion" Kristus yang agung sehingga gangguan-gangguan kecil tersebut dengan satu cara menjadi bagian dari harta karun compassion yang begitu dibutuhkan bagi umat manusia. Dengan cara ini, bahkan ketidaknyamanan-ketidaknyamanan kecil dalam kehidupan sehari-hari bisa mendapatkan makna dan meyumbang kepada ekonomi kebaikan dan cinta manusia. Mungkin kita harus mempertimbangkan apakah mungkin baik untuk menghidupkan kembali praktek ini bagi diri kita.
III. Penghakiman sebagai pengaturan bagi pembelajaran dan praktek harapan
41. Pada akhir dari bagian sentral Credo agung Gereja—bagian yang mengingat kembali misteri Kristus, dari kelahiran abadiNya dari sang Bapa sampai kelahiran temporalNya dari Perawan Maria, melalui SalibNya dan KebangkitanNya sampai pada kedatanganNya yang kedua—kita menemukan frase: "Dia akan datang lagi dengan kemuliaan untuk menghakimi yang hidup dan yang mati". Sejak dari masa-masa awal, prospek Penghakiman telah mempengaruhi umat Kristen dalam kehidupan mereka sehari-hari sebagai suatu kriteria untuk menata kehidupan mereka saat ini, sebagai suatu panggilan kepada suara hati mereka, dan pada saat yang sama sebagai harapan dalam keadilan Allah. Iman dalam Kristus tidak pernah kelihatan sekedar kebelakang atau keatas, tapi selalu kedepan kepada saat pengadilan yang sering diproklamirkan Tuhan. [Sikap] melihat kedepan ini telah memberi Kekristenan [rasa penting] bagi saat sekarang. Dalam penataan bangunan-bangunan sakral Kristen, yang dibuat untuk menunjukkan iman Kristus yang historis dan kosmik, telah menjadi kebiasaan untuk memperlihatkan Tuhan datang kembali sebagai seorang raja—[yang adalah] sebuah simbol harapan—di sebelah Timur; sementara tembok barat normalnya digambarkan Penghakiman Terakhir sebagai suatu simbol tanggungjawab kita bagi hidup kita—[itulah] pemandangan yang mengikuti dan menemani umat beriman ketika mereka keluar [dari bangunan-bangunan sakral Kristen] untuk kembali kepada rutinitas sehari-hari mereka. Namun, sebagaimana iconography Penghakiman Terakhir berkembang, lebih dan lebih penekanan diberikan kepada aspek Penghakiman Terakhir yang mencekam dan menakutkan, yang jelas lebih mengagumkan bagi artis [yang melukisnya] daripada [memperlihatkan] kegemilangan harapan yang sering begitu tersembunyi dibawah kengerian [yang terlukiskan].
42. Di era modern, gagasan Penghakiman Terakhir telah [semakin hilang]: iman Kristen telah ter-individualisasi dan lebih terarahkan kepada keselamatan jiwa umat yang percaya, sementara refleksi atas sejarah dunia kebanyakan didominasi oleh gagasan akan kemajuan. Namun, kandungan fundamental akan penungguan terhadap sebuah Penghakiman akhir, belum hilang; hanya saja hal itu telah berubah kedalam bentuk yang benar-benar berbeda. Atheisme pada abad kesembilanbelas dan keduapuluh adalah—dalam asal dan tujuannya—"sebuah tipe dari moralisme: sebuah protes terhadap ketidakadilan dunia dan sejarah dunia. Sebuah dunia yang ditandai oleh begitu banyak ketidakadilan, penderitaan dari yang tak bersalah, dan sinisme atas kekuasaan tidak dapat merupakan karya Allah yang baik. Seorang Allah dengan tanggungjawab atas dunia seperti itu bukanlah seorang Allah yang adil, apalagi seorang Allah yang baik. Adalah demi moralitas bahwa Allah yang seperti ini harus dipertanyakan. Karena tidak ada Allah untuk menciptakan keadilan, maka tampaknya manusia sendirilah yang dipanggil untuk mendirikan suatu keadilan. Kalau mengingat penderitaan dunia, protes melawan Allah bisa dimengerti, [maka] klaim bahwa kemanusian dapat dan harus melakukan apa yang tidak dapat dilakukan Allah atau mampu melakukannya [adalah sebuah klaim yang] gegabah dan secara intrinsik salah. Bukanlah sebuah kebetulan bahwa gagasan ini telah berujung pada sebuah bentuk kekejaman dan pelanggaran keadilan yang besar; [hal ini] didasari oleh kesalahan intrinsik dari klaim tersebut. Sebuah dunia yang harus menciptakan keadilannya sendiri adalah dunia tanpa harapan. Tidak ada seorangpun dan tidak ada apapun dapat menjawab penderitaan yang [berlangsung] berabad-abad. Tidak ada seorangpun dan tidak ada apapun yang dapat menjamin bahwa sinisme kekuasaan—apapun topeng ideologis menawan yang dipakainya—akan berhenti mendominasi dunia. Inilah mengapa pemikir-pemikir besar Sekolah Frankfurt [seperti] Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, sama-sama bersikap kritis terhadap atheisme dan juga theisme. Horkheimer secara radikal mengecualikan kemungkinan untuk dapat menemukan pengganti duniawi bagi Allah, sementara disaat yang sama dia menolak gambaran seorang Allah yang baik dan adil. Dalam radikalisasi ekstrim Perjanjian Lama akan larangan terhadap gambaran-gambaran [maksudnya, patung, ukiran etc] dia berbicara mengenai sebuah "penantian bagi yang benar-benar Lain [ie. maksudnya suatu Allah yang benar-benar lain]" yang tetap tak ter-akses—sebuah tangisan penantian yang diarahkan kepada sejarah dunia. Adorno juga dengan tegas memegang penolakan terhadap gambaran-gambaran [maksudnya, patung, ukiran etc], yang secara alami berarti pengecualian "gambaran" apapun atas suatu Allah yang mencintai. Di sisi lain, dia juga secara konstan menekankan dialektif "negatif" ini dan meyakinkan bahwa keadilan—keadilan sejati—akan memerlukan sebuah dunia "dimana tidak hanya penderitaan saat ini akan dihapus, tapi dimana masa lalu yang tak-terbatalkan [irrevocably past] tersebut akan dibatalkan [undone]." [20] Namun ini berarti—untuk diekspresikan secara positif dan karenanya, bagi Adorno, sebuah simbol yang tak mencukupi—tidak bisa ada keadilan tanpa kebangkitan yang mati. Namun ini harus melibatkan "kebangkitan badan, sesuatu yang sangat asing bagi idealisme dan [berada] di ranah rohani yang absolut." [31]
43. Umat Kristen dapat dan harus secara konstan belajar dari penolakan ketat dari gambaran-gambaran [maksudnya patung, ukiran etc] yang terkandung di perintah pertama Allah (bdk. Kel 20:4). Kebenaran dari teologi negatif ditekankan oleh Konsili Lateran Keempat, yang secara eksplisit menyatakan bahwa bagaimanapun kemiripan yang mungkin dibuat antara Pencipta dan ciptaan, ketidakmiripan diantara mereka selalu lebih besar. [32] Dalam kasus apapun, bagi umat yang percaya, penolakan terhadap gambaran-gambaran [maksudnya patung, ukiran etc] tidak dapat diyakini sedemikian rupa sehingga seorang berkesimpulan, sebagaimana yang diinginkan Horkheimer dan Adorno, dengan mengatakan "tidak" kepada kedua thesis—[yaitu] atheisme dan theisme. Allah telah memberikan bagi diriNya sendiri sebuah "gambaran": [yaitu] dalam Kristus yang menjadi manusia. DidalamNya yang tersalib, penolakan terhadap gambaran-gambaran palsu akan Allah dipegang sampai ke batas ekstrim. Allah sekarang menunjukkan wajahNya yang sebenarnya dalam bayangan si penderita yang berbagi dengan kondisi manusia yang terjauhkan-Allah dengan menanggung [penderitaan] itu bagi diriNya sendiri. Si penderita yang tak bersalah ini mendapatkan kepastian harapan: ada seorang Allah, dan Allah dapat menciptakan keadilan dalam cara yang kita tidak dapat pikirkan, namun kita dapat mulai mencoba mengertinya melalui iman. Ya, memang ada kebangkitan badan. [33] Ada keadilan. [34] Ada "pembatalan [undoing]" dari penderitaan-penderitaan masa lalu, sebuah perbaikan yang membetulkan perkara-perkara dengan benar. Atas alasan ini, iman dalam Penghakiman Terakhir pertama dan terutama [adalah] harapan—dimana perlunya [harapan tersebut] telah dinyatakan dengan sangat jelas pada pergolakan-pergolakan di abad-abad terakhir ini. Aku yakin bahwa pertanyaan tentang keadilan mendasari argumen esensial, atau bahkan argumen terkuat, bagi iman akan hidup abadi. Kebutuhan murni individual bagi sebuah pemenuhan yang ditolak dari kita di kehidupan ini, bagi sebuah cinta tak berkesudahan yang kita nantikan, jelas merupakan motif yang penting untuk mempercayai bahwa manusia diciptakan untuk keabadian; [dan mengingat ketidakmungkinan bahwa sejarah yang tidak adil tersebut harus menjadi kata penutup, maka akan terlihat perlunya suatu kedatangan kembali Kristus dan perlunya suatu hidup yang baru menjadi meyakinkan].
44. Untuk protes terhadap Allah atas nama keadilan tidaklah membantu. Sebuah dunia tanpa Allah adalah dunia tanpa harapan (bdk. Ef 2:12). Hanya Allah yang dapat menciptakan keadilan. Dan iman memberi kita sebuah kepastian bahwa Dia melakukan itu. Gambaran Penghakiman Terakhir terutama bukanlah gambaran teror, tapi sebuah gambaran harapan; bagi kita mungkin gambaran tersebut merupakan gambaran harapan yang menentukan. Bukankah gambaran tersebut juga merupakan gambaran yang mengerikan? Menurutku: itu adalah sebuah gambaran yang menggugah rasa tanggungjawab, sebuah gambaran akan ketakutan yang dibicarakan St. Hilary ketika dia berkata bahwa semua ketakutan kita punya tempat dalam cinta.[35] Allah adalah keadilan dan [Dia juga] menciptakan keadilan. Inilah penghiburan dan harapan kita. Dan dalam keadilanNya juga ada rahmat. Ini kita ketahui dengan mengarahkan pendangan kita kepada Kristus yang tersalib dan bangkit. Dua hal ini—keadilan dan rahmat—harus dilihat dalam hubungan mendalam mereka yang benar. Rahmat tidak membatalkan keadilan. Rahmat tidak membuat yang salah menjadi benar. Rahmat bukanlah spons yang menghapus semuanya, sehingga apapun yang dilakukan seseorang dibumi berakhir dengan nilai yang sama. Dostoevsky, sebagai contoh, memang benar untuk memprotes Surga semacam ini dan rahmat semacam ini dalam novelnya The Brothers Karamazov. Pada akhirnya pelaku kejahatan tidak akan duduk di meja perjamuan abadi disamping korban-korban mereka tanpa pembedaan, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Disini aku ingin mengutip sebuah perkataan dari Plato yang mengekspresikan sebuah bayangan masa depan dari suatu penghakiman yang adil yang dalam banyak hal tetap benar dan menyelamatkan bagi umat Kristen juga. Meskipun menggunakan gambaran-gambaran mitologis, [Plato] mengekspresikan kebenaran dengan kejelasan, [dengan] mengatakan bahwa pada akhirnya jiwa-jiwa akan berdiri telanjang dihadapan sang hakim. Tidak penting lagi apa dulunya [status] mereka dalam sejarah, tapi [yang penting adalah] apa mereka sekarang dalam kebenaran: "Sering, ketika yang harus dihadapinya (sang hakim) adalah raja atau monarch lain atau penguasa lain, dia [ie. sang hakim] menemukan tidak adanya keberesan apapun dalam jiwa [mereka], dia [ie. sang hakim] menemukan bahwa jiwa tersebut terdera dan tercoreng oleh berbagai tindakan pelanggaran sumpah dan kesalahan-kesalahan ...; [jiwa tersebut] dipelintir dan diselubungi oleh kebohongan dan kemewahan [vanity], dan tidak ada apapun yang lurus karena kebenaran tidak memiliki bagian dalam perkembangan [jiwa tersebut]. Kekuasaan, kemewahan [luxury], kesombongan dan kemaksiatan telah membuat [jiwa tersebut] penuh disproporsi dan kejelekan sehngga ketika dia [ie. sang hakim] selesai menginspeksinya, dia [ie. sang hakim] mengirimkan [jiwa tersebut] langsung ke penjara, dimana setelah kedatangannya [di penjara, jiwa itu] akan mengalami hukuman yang sesuai ... Namun, kadang-kadang mata sang hakim bersinar atas satu jiwa yang berbeda yang telah hidup dalam kemurnian dan kebenaran ... lalu dia [ie. sang hakim] dilanda kegembiraan dan mengirimkan dia [ie. orang yang memiliki jiwa yang hidup dalam kemurnian dan kebenaran] ke pulau orang yang terberkati/berbahagia [blessed]" [36]. Dalam perumpamaan orang yang kaya dan Lazarus (bdk. Lk 16:19-31), Yesus menasehati kita melalui gambaran satu jiwa yang dihancurkan oleh kesombongan dan kemewahan, [dimana kesombongan dan kemewahan tersebut] telah menciptakan jurang tak terlewati antara dirinya dan si orang miskin; jurang –perangkap kenikmatan materi; jurang kelupaan terhadap sesama, [jurang] ketidakadaan kapasitas untuk mencinta, yang kemudian menjadi kedahagaan yang menyala dan tak terpadamkan. Kita harus mencatat bahwa dalam perumpamaan ini Yesus tidak mengacu kepada tujuan akhir setelah Penghakiman Terakhir, tapi [Dia] berbicara mengenai gagasan yang ditemukan, inter alia, dalam Yudasime awal, yaitu sebuah keadaan peralihan antara kematian dan kebangkitan, sebuah keadaan dimana hukuman final belum dinyatakan.
45. Gagasan Yahudi awal akan sebuah keadaan peralihan ini menyertakan suatu pandangan bahwa jiwa-jiwa ini tidak sekedar berada dalam penahanan sementara tapi, sebagaimana [diceritakan] dalam perumpamaan orang kaya, [jiwa-jiwa tersebut] sudah dihukum atau mengalami bentuk awal [provisional] kebahagiaan. Juga ada gagasan bahwa keadaan ini bisa melibatkan pemurnian dan penyembuhan yang mendewasakan jiwa untuk persekutuan dengan Allah. Gereja awal mengambil konsep-konsep ini, dan di Gereja Barat, [konsep-konsep tersebut] sedikit demi sedikit berkembang menjadi ajaran Api Penyucian. Disini kita tidak perlu mempelajari jalan historis yang komplek atas perkembangan ini; adalah cukup untuk bertanya apa sebenarnya maksud [dari perkembangan tersebut]. Dengan kematian, pilihan-hidup kita menjadi definitif—kehidupan kita tersebut berdiri dihadapan sang hakim. Pilihan kita, yang dalam berlalunya seluruh hidup mengambil bentuk [shape] tertentu, bisa punya berbagai variasi bentuk [forms]. Bisa ada orang yang secara total menghancurkan keinginan mereka untuk kebenaran dan kesiapan untuk cinta, orang yang baginya [sendiri] segalanya telah menjadi kebohongan, orang yang hidup bagi kebencian dan telah menekan semua cinta dalam diri mereka sendiri. Ini adalah pemikiran yang mengerikan, tapi type yang mengejutkan ini bisa dilihat dalam orang-orang tertentu di sejarah kita. Di orang-orang seperti itu semuanya menjadi diluar kemampuan untuk diobati dan kehancuran yang baik akan tak terbatalkan: inilah apa yang kita maksudkan dengan kata Neraka.[37] Di sisi lain bisa ada orang yang benar-benar murni, dengan secara lengkap terpenuhi oleh Allah, dan karenanya menjadi terbuka dengan penuh terhadap sesamanya—orang yang baginya persekutuan dengan Allah bahkan saat ini memberi arahan kepada keseluruhan keberadaan mereka dan [orang yang] perjalanannya kepada Allah hanya membawa ke kepenuhan apa yang sudah [merupakan jati diri mereka].[38]
46. Namun kita tahu dari pengalaman bahwa kedua kasus tersebut tidaklah normal dalam kehidupan manusia. Karena bagi mayoritas orang—kita bisa mengandaikan—masih ada didalam kedalaman keberadaan mereka sebuah keterbukaan interior akhir terhadap kebenaran, kepada cinta dan kepada Allah. Namun dalam pilihan-pilihan konkrit hidup, hal tersebut diselubungi oleh komprimi dengan kejahatan yang selalu baru—banyak kotoran yang menyelubungi kemurnian, tapi kedahagaan untuk kemurnian tetap ada dan terus muncul kembali dari semua yang tetap hadir dan berdasar dalam jiwa. Apa yang terjadi kepada individu seperti itu ketika mereka muncul dihadapan sang Hakim? Apakah semua ketidakmurnian yang mereka kumpulkan sepanjang hidup tiba-tiba tidak [dipertimbangkan]? Apa lagi yang mungkin terjadi? Santo Paulus, dalam Surat Pertama kepada umat Korintus, memberi kita ide akan akibat yang berbeda dari penghakiman Allah sesuai keadaan tertentu tiap-tiap orang. Dia [ie. Santo Paulus] melakukan ini dengan menggunakan gambaran-gambaran yang dengan cara tertentu mencoba mengekspresikan yang tidak kelihatan, tanpa memungkinkan kita untuk meng-konseptualisasi-kan gambaran-gambaran tesebut—karena kita tidak dapat melihat dunia diseberang kematian ataupun kita punya pengalaman [akan dunia diseberang kematian]. Paulus mulai dengan berkata bahwa kehidupan Kristen dibangun diatas pondasi yang sama: Yesus Kristus. Pondasi ini bertahan selama-lamanya. Jika kita berdiri teguh diatas pondasi ini dan membangun hidup kita diatasnya, kita tahu bahwa [apa yang kita bangun] tidak akan diambil dari kira bahkan dalam kematian. Kemudian Paulus melanjutkan: "Sekarang jika seseorang membangun diatas pondasi dengan emas, perak, batu berharga, kayu, rumput kering atau jerami— sekali kelak pekerjaan masing-masing orang akan nampak. Karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab [pekerjaan tesebut] akan nampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh api itu, Jika pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, ia akan mendapat upah. Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api" (1 Kor 3:12-15). Di teks ini, telah terbukti bahwa keselamatan kita bisa mengambil bentuk yang berbeda, bahwa beberapa yang telah dibangun mungkin terbakar, bahwa supaya selamat kita harus secara pribadi melalui "api" supaya bisa menjadi terbuka penuh dalam menerima Alah dan mampu mengambil tempat kita pada meja perjamuan perkawinan abadi.
47. Beberapa teolog saat ini punya pendapat bahwa api yang membakar dan menyelamatkan adalah Kristus sendiri, sang Hakim dan Penyelamat. Perjumpaan denganNya adalah tindakan penghakiman yang menentukan. Dihadapan pandanganNya semua kepalsuan lumer. Perjumpaan denganNya yang membakar kita ini, mentransformasi dan membebaskan kita, membolehkan kita untuk benar-benar menjadi diri kita sendiri. Semua yang kita bangun selama hidup kita bisa terbukti sebagai sekedar jerami, kesombongan murni, dan [bangunan kita itu akan] runtuh. Namun dalam rasa sakit dari perjumpaan ini, ketika ketidakmurnian dan kesakitan hidup kita menjadi jelas bagi kita, terhamparlah keselamatan. PandanganNya, sentuhan hatiNya menyembuhkan kita melalui sebuah transformasi menyakitkan yang tak teringkarkan "seperti dari dalam api". Tapi ini adalah kesakitan yang membahagiakan [blessed], dimana kekuatan kudus cintaNya membakar kita seperti sebuah api, memampukan kita untuk secara total menjadi diri kita sendiri dan secara total menjadi [sesuatu yang] dari Allah. Dengan cara ini hubungan timbal balik antara keadilan dan rahmat juga menjadi jelas: bagaimana kita menghidupi kehidupan kita tidaklah penting, tapi pengotoran diri kita tidak menodai kita selamanya jika kita paling tidak terus menerus menjangkau kepada Kristus, kepada kebenaran dan kepada cinta. Memang, [noda kita] telah terbakar oleh sengsara kristus. Pada saat penghakiman kita mengalami dan kita meresapi kekuatan cintaNya yang begitu besar atas semua kejahatan didunia dan didalam diri kita sendiri. Kesakitan cinta ini menjadi keselamatan kita dan kegembiraan kita. Sudah jelas bahwa kita tidak dapat menghitung "lama" dari pembakaran yang men-transformasi ini dengan ukuran khronologis dunia. "Saat" pen-transformasi-an dari perjumpaan ini mengakali [eludes] penghitungan waktu dunia—["saat" tersebut] adalah inti dari waktu, ["saat" tersebut] adalah waktu [untuk melalui] "terowongan [passage]" kepada persekutuan dengan Allah dalam Tubuh Kristus.[39] Penghakiman dari Allah adalah harapan, baik karena [harapan tersebut] adalah keadilan dan karena [harapan tersebut] adalah rahmat. Kalau [penghakiman dari Allah] hanyalah sekedar rahmat, [yang] membuat semua perkara duniawi tak bermakna, [maka] Allah masih akan berhutang kepada kita suatu jawaban atas pertanyaan mengenai keadilan—pertanyaan penting yang kita tanyakan kepada sejarah dan kepada Allah. Kalau [penghakiman dari Allah] hanyalah sekedar keadilan, [maka] pada akhirnya hal itu hanya akan membawa ketakutan bagi kita semua. Inkarnasi Allah dalam Kristus telah begitu dekat menghubungkan keduanya bersama—keadilan dan rahmat—sehingga keadilan tertegakkan dengan teguh: kita semua mengerjakan keselamatan kita dengan "takut dan gentar" (Fil 2:12). Namun rahmat membuat kita semua untuk berharap, dan untuk pergi dengan percaya menemui sang Hakim yang kita tahu sebagai "advokat" kita, atau parakletos (bdk. 1 Yoh 2:1).
48. Hal lebih lanjut harus disebut disini, karena hal tersebut penting bagi praktek harapan Kristen. Pemikiran Yahudi awal-awal mencakup gagasan bahwa seseorang bisa membantu yang meninggal dalam keadaan peralihan mereka melalui doa (sebagai contoh lihat 2 Mak 12:38-45; abad pertama masehi). Praktek yang ekuivalen [dengan pemikiran Yahudi awal-awal tersebut] sudah dengan siap diadopsi oleh umat Kristen dan umum di Gereja Timur dan Barat. [Gereja] Timur tidak mengenal pemurnian jiwa dan penderitaan karena kesalahan para jiwa tersebut di kehidupan setelah mati, tapi [Gereja Timur] mengakui berbagai tingkat kebahagiaan dan berbagai tingkat penderitaan dalam keadaan peralihan. Namun, jiwa-jiwa yang telah meninggal dapat menerima "penghiburan dan penyejukan" melalui Ekaristi, doa dan derma. Kepercayaan bahwa cinta dapat menjangkau kehidupan setelah mati, bahwa pemberian dan penerimaan timbal balik masih mungkin, dimana rasa kasih kita bagi satu sama lain terus berlanjut diseberang batas kematian—merupakan keyakinan mendasar Kekristenan disepanjang abad dan [keyakinan tersebut] masih merupakan sumber penghiburan sampai hari ini. Siapa yang tidak merasakan perlunya menyatakan kepada orang terkasih yang telah meninggalkan mereka, sebuah tanda kebaikan, sebuah tindakan terima kasih dan bahkan sebuah permintaan maaf? Sekarang sebuah pertanyaan lebih lanjut timbul: Jika "Api Penyucian" hanya sekedar penyucian melalui api dalam perjumpaan dengan Allah, Hakim dan Penyelamat, bagaimana orang ketiga ikut campur, meskipun kalau [orang ketiga tersebut] cukup dekat dengan yang lain? Ketika kita bertanya pertanyaan seperti itu, kita harus ingat bahwa [tidak seorangpun hidup seluruhnya untuk dirinya sendiri]. Kehidupan kita terlibatkan dengan satu sama lain. Tidak seorangpun hidup sendirian. Tidak seorangpun berdosa sendirian. Tidak seorangpun diselamatkan sendirian. Kehidupan yang lain terus meluber kekehidupanku: dalam apa yang aku pikirkan, [apa yang aku] katakan, [apa yang aku] lakukan dan [apa yang aku] capai. Dan sebaliknya, kehidupanku meluber ke kehidupan yang lain: secara baik ataupun secara buruk. Jadi doaku bagi yang lain bukanlah sesuatu yang diluar pribadi tersebut, sesuatu yang eksternal, bahkan tidak [begitu] setelah kematian. Dalam keterkaitan Keberadaan, rasa terima kasihku kepada yang lain —doaku kepadanya—dapat memainkan peran kecil dalam pemurniannya. Dan karena itu tidak perlu untuk mengkonversi waktu dunia kedalam waktu Allah: dalam persekutuan jiwa-jiwa waktu dunia yang sederhana telah tergantikan. Tidaklah pernah terlambat untuk menyentuh hati sesama yang lain, ataupun hal tersebut merupakan kesia-siaan. Dengan cara ini kita lebih lanjut menjelaskan sebuah unsur penting dalam konsep Kristen akan harapan. Harapan kita secara esensial adalah selalu juga merupakan harapan bagi yang lain; hanya dengan begitu [harapan tersebut] adalah benar-benar harapan bagiku juga.[40] Sebagai umat Kristen kita tidak seharusnya membatasi diri kita dengan bertanya: bagaimana aku dapat menyelamatkan diriku sendiri? Kita harus juga bertanya: apa yang bisa aku lakukan agar yang lain bisa selamat dan agar bagi mereka juga bintang harapan bisa timbul? [Dengan begitu] maka aku telah melakukan yang terbaik bagi keselamatan pribadiku juga
Maria, Bintang Harapan
49. Dengan sebuah hymne yang dikomposisi pada abad kedelapan atau kesembilan, jadi lebih dari seribu tahun, Gereja telah menyambut Maria, Bunda Allah, sebagai "Bintang Lautan": Ave maris stella. Kehidupan manusia adalah sebuah perjalanan. Menuju tujuan apa? Bagaimana kita menemukan jalannya? Kehidupan adalah bagaikan sebuah perjalanan diatas lautan sejarah, sering gelap dan ber-badai, sebuah perjalanan dimana kita melihat bintang-bintang yang menunjukkan rute perjalanan. Bintang-bintang sejati dari hidup kita adalah orang-orang yang hidup dengan baik. Mereka adalah cahaya-cahaya harapan. Tentu saja, Yesus Kristus adalah cahaya sejati, matahari yang telah terbit diatas semua bayangan sejarah. Tapi untuk menjangkaunya kita juga memerlukan cahaya-cahaya yang dekat—orang yang bersinar dengan cahayanya dan dengan begitu menuntun kita sepanjang perjalanan. Siapa yang lebih dari Maria yang dapat menjadi sebuah bintang harapan bagi kita? Dengan "ya"-nya, [Maria] membuka pintu dunia kita kepada Alah sendiri; dia menjadi Tabut Perjanjian yang hidup, dimana Allah mengambil daging, menjadi salah seorang dari kita, dan mendirikan tendaNya diantara kita (bdk. Yoh 1:14).
50. Jadi kita berteriak kepada Maria; Maria yang Suci, engkau adalah bagian dari jiwa-jiwa Israel yang sederhana dan agung yang, seperti Simeon, "mencari penghiburan bagi Israel" (Luk 2:25) dan berharap, seperti Anna, "bagi penebusan Yerusalem" (Luk 1:55). Dengan cara ini kami bisa menghargai ketakutan kudus yang meliputi engkau ketika malaikat Allah menampakkan diri kepadamu dan memberitahumu bahwa engkau akan melahirkan Dia yang merupakan harapan Israel, Dia yang ditunggu dunia. Melaluimu, melalui "ya"-mu, harapan dari jaman-jaman menjadi nyata, memasuki dunia ini dan sejarahnya. Engkau membungkuk rendah dihadapan besarnya tugas ini dan memberikan kesediaanmu: "lihat, aku adalah hamba Tuhan; terjadilah padaku menurut perkataanmu" (Luk 1:38). Ketika engkau bergegas dengan kegembiraan kudus menyeberangi gunung-gunung Yudea untuk menjumpai sepupumu Elizabeth, engkau menjadi gambaran Gereja yang akan datang, yang membawa harapan bagi dunia dalam rahimnya menyeberangi gunung-gunung sejarah. Namun disamping kegembiraan yang, dengan Magnificat-mu engkau proklamirkan dalam kata-kata dan nyanyian untuk didengar semua abad, engkau juga tahu perkataan-perkataan kelam para nabi mengenai penderitaan hamba Allah di dunia ini. Bersinar diatas kelahiranNya di kandang Bethlehem, ada malaikat-malaikat dengan kegemilangan yang membawa kabar baik kepada para gembala, tapi pada saat yang sama kesederhanaan Allah didunia ini begitu nyata. Si tua Simeon berbicara kepada engkau mengenai pedang yang akan menembus jiwamu (bdk. Luk 2:35), mengenai Putramu yang akan menjadi tanda perbantahan di dunia ini. Lalu, ketika Yesus memulai pelayanan umumNya, engkau harus minggir, sehingga sebuah keluarga baru dapat tumbuh, sebuah keluarga yang merupakan misi bagiNya untuk didirikan dan [sebuah keluarga baru] yang terdiri dari mereka yang mendengarkan perkataanNya dan memeliharanya (bdk. Luk 11:27f). Terlepas dari kegembiraan besar yang menandai permulaan pelayanan Yesus, di sinagoga Nazareth engkau pasti telah mengalami kebenaran mengenai perkataan "tanda perbantahan" (bdk. Luk 4:28ff). Dengan cara ini engkau melihat berkembangnya kekuatan keganasan [hostility] dan penolakan yang terkumpul disekitar Yesus sampai saat [Dia] Salib, ketika engkau harus melihat sang Penyelamat dunia, pewaris Daud, Putra Allah, mati seperti sebuah kegagalan, terbuka kepada ejekan, diantara para kriminal. Lalu engkau menerima perkataan Yesus: "Wanita, lihatlah Putramu!" (Yoh 19:26). Dari Salib engkau menerima sebuah misi baru. Dari Salib engkau menjadi ibu secara baru: ibu bagi semua yang mempercayai Putarmu Yesus dan ingin mengikutiNya. Pedang kesedihan menembus hatimu. Apakah harapan mati? Apakah dunia tetap tanpa terang secara definitif, dan kehidupan tanpa tujuan? Pada saat itu, didalam hati, engkau mungkin mendengar lagi kata-kata yang diucapkan malaikat sebagai jawaban ketakutanmu pada saat menerima kabar gembira: "Jangan takut, Maria!" (Luk 1:30). Berapa kali [pula] Tuhan, Putramu, mengatakan hal yang sama kepada murid-muridNya: jangan takut! Di dalam hatimu, engkau mendengar kata-kata ini lagi selama malam di Golgota. Sebelum masa pengkhianatanNya Dia berkata kepada para muridNya: ""bergembiralah, Aku telah menaklukkan dunia" (Yoh 14:27). "Jangan takut, Maria!" Pada masa itu di Nazareth sang malaikat juga telah berkata kepadamu: "—KerajaanNya tidak akan berakhir" (Luk 1:33). Bisakah [kerajaan tersebut] berakhir sebelum dimulai? Tidak, pada kaki salib, atas kekuatan kata-kata Yesus sendiri, engkau menjadi ibu dari orang yang percya. Dalam iman ini, yang bahkan dalam kegelapan Sabtu Suci mengandung kepastian harapan, engkau melaluinya sampai Paskah di pagi harinya. Kegembiraan kebangkitan menyentuh hatimu dan bersatu denganmu dalam cara yang baru dengan para murid, didestinasikan untuk menjadi keluarga Yesus melalui iman. Dengan cara ini engkau berada ditengah-tengah komunitas orang yang percaya, yang di hari-hari itu, dengan mengikuti Kenaikan [Yesus], berdoa dengan satu suara bagi karunia Roh Kudus (bdk. Kis 1:14) dan kemudian menerima karunia tersebut pada hari Pentekosta. "Kerajaan" Yesus tidak seperti yang dibayangkan. [Kerajaan tersebut] dimulai pada saat itu, dan mengenai "Kerajaan" ini tidaklah akan ada akhirannya. Karenanya engkau tetap selalu ditengah-tengah para murid sebagai Ibu mereka, sebagai Ibu harapan. Maria yang Kudus, Bunda Allah, Ibu kami, ajarkanlah kita untuk mempercayai, untuk berharap, untuk mencinta bersamamu. Tunjukkanlah bagi kita jalan kepada KerajaanNya! Bintang Lautan, bersinarlah diatas kita dan tuntunlah kita di perjalanan kita!
Diberikan di Roma, di Santo Petrus, pada 30 November Pesta Santo Andreas sang Rasul, di tahun 2007, tahun ketiga Kepausanku.
Paus Benediktus XVI
________________________________________
1 Corpus Inscriptionum Latinarum VI, no. 26003.
2 Bdk. Puisi-puisi Dogmatis, V, 53-64: PG 37, 428-429.
3 Bdk. Katekismus Gereja Katolik, 1817-1821.
4 Summa Theologiae, II-IIae, q.4, a.1.
5 H. Köster di Theological Dictionary of the New Testament VIII (1972), p.586.
6 De excessu fratris sui Satyri, II, 47: CSEL 73, 274.
7 Ibid., II, 46: CSEL 73, 273.
8 Bdk. Ep. 130 Ad Probam 14, 25-15, 28: CSEL 44, 68-73.
9 Bdk. Katekismus Gereja Katolik, 1025.
10 Jean Giono, Les vraies richesses (1936), Prakata, Paris 1992, pp.18-20; dikutip di Henri de Lubac, Catholicisme. Aspects sociaux du dogme, Paris 1983, p.VII.
11 Ep. 130 Ad Probam 13, 24: CSEL 44, 67.
12 Sententiae III, 118: CCL 6/2, 215.
13 Bdk. ibid. III, 71: CCL 6/2, 107-108.
14 Novum Organum I, 117.
15 Bdk. ibid. I, 129.
16 Bdk. New Atlantis.
17 Di Werke IV, ed. W. Weischedel (1956), p.777.
18 I. Kant, Das Ende aller Dinge, di Werke VI, ed. W.Weischedel (1964), p.190.
19 Bab-bab mengenai kasih, Centuria 1, ch. 1: PG 90, 965.
20 Bdk. ibid.: PG 90, 962-966.
21 Conf. X 43, 70: CSEL 33, 279.
22 Sermo 340, 3: PL 38, 1484; bdk. F. Van der Meer, Agustinus sang Uskup, London and New York 1961, p.268.
23 Sermo 339, 4: PL 38, 1481.
24 Conf. X 43, 69: CSEL 33, 279.
25 Bdk. Katekismus Gereja Katolik, 2657.
26 Bdk. In 1 Ioannis 4, 6: PL 35, 2008f.
27 Kesaksian akan harapan, Boston 2000, pp.121ff.
28 The Liturgy of the Hours, Office of Readings, 24 November.
29 Sermones in Cant., Sermo 26, 5: PL 183, 906.
30 Negative Dialektik (1966), Bagian ketiga, III, 11, di Gesammelte Schriften VI, Frankfurt am Main 1973, p.395.
31 Ibid., bagian Kedua, p.207.
32 DS 806.
33 Bdk. Katekismus Gereja Katolik, 988-1004.
34 Bdk. ibid., 1040.
35 Bdk. Tractatus super Psalmos, Ps 127, 1-3: CSEL 22, 628-630.
36 Gorgias 525a-526c.
37 Bdk. Katekismus Gereja Katolik, 1033-1037.
38 Bdk. ibid., 1023-1029.
39 Bdk. Katekismus Gereja Katolik, 1030-1032.
40 Bdk. Katekismus Gereja Katolik, 1032.